Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2023
  KRISTUS RAJA SEMESTA ALAM Kisah memicu sejarah dan sejarah menenun kisah.   Sejarah , bila direnungkan, bisa membuat manusia menjadi bijaksana , kata Francis Bacon - si Filsuf Inggris itu. N amun bila dijalani begitu saja tanpa mengambil pelajaran darinya, maka seseorang ditakdirkan untuk mengulanginya lagi, kata George Santayana-Filsuf dari Spanyol . Mungkin karena itu, Viktor Hugo-filsuf Prancis pernah menimpali dengan mengatakan bahwa sejarah adalah p engulangan masa lalu di masa depan; refleksi dari masa depan pada masa lalu. Permenungan para bijak pandai ini seakan menjadi epilog dalam ziarah Gereja hari ini, yang dirangkum dalam sebuah perayaan akbar “ Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam. Sebab kisah-kisah suci nan inspiratif yang ditampilkan pada hari ini, sejatinya membentangkan sejarah keselamatan yang ditenun dalam dua kisah yang berbeda : kisah manusia dan kisah Allah. Yehezkiel menenun kisah tentang manusia sebagai sebuah kisah penuh warna buram tentang ke
  SANTO ANDREAS LUNG DAC DAN MISTERI BAIT SUCI   Saya teringat kisah-kisah kaum pengungsi Vietnam, saat saya membuat riset di Pulau Galang demi pembuatan buku, yang diminta oleh almahrum Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD dan Gubernur Kepri bapak Ismeth Abdullah. Kedua tokoh ini meminta saya menulis tentang pengungsi Vietnam yang pernah terdampar di pulau Galang, pulau kecil di sebelah selatan Pulau Batam. Intensi penulisan buku itu dimaksud untuk memperlihatkan betapa Gereja Katolik yang dianggap minoritas ternyata mengharumkan nama Indonesia di kancah dunia internasional, karena menangani pengungsi dengan sangat baik. Saya mempresentasikan buku itu dihadapan umat, tahun 2000, di PUlau Galang, sebagai pembuka awal millennium baru, agar ketika orang berkunjung ke Pulau Galang, mereka tidak sekedar berwisata, tetapi juga berziarah seraya memungut remah-remah iman yang dimiliki para pengungsi serta nilai kemanusiaan yang diperjuangkan Gereja. Buku itu saya berjudul: ” Ketika Aku Seor
  KUASA SANG IBU & ANCAMAN BERTUBI-TUBI   Kemarin dan hari ini, Kitab Makabe menyingkapkan kisah yang sangat inspiratif. Kendati kedua kisah ini berbeda, antara kemarin dan hari ini, namun keduanya memiliki titik berangkat yang sama, yakni arogansi kuasa raja Antiokhus Epifanes. Kemarin, pada peringatan Santa Sesilia Perawan dan Martir, seorang ibu dan ketujuh anaknya dipaksa untuk mengikuti agama sang raja lalim itu. Mereka disiksa dengan cambuk dan rotan. Mereka dipaksa untuk makan daging babi; hewan yang dalam Taurat Musa dilarang untuk dimakan oleh bangsa pilihan. Namun mereka menolak. Ketaatan dan kesetiaan mereka atas Taurat melampui semua penderitaan yang mereka alami. Kata Makabe, ibu ini sungguh mengagumkan secara luar biasa. Ia layak dikenang baik-baik. Ia tegar menyaksikan keenam anaknya mati dalam satu hari akibat kesetiaan atas iman karena ulah   kebiadaban sang raja lalim Antiokhus Epifanes. Ia perempuan yang memiliki semangat kejantanan, sehingga walau diru
Gambar
  ANTARA SALIB DAN ALTAR Masih dalam keadaan lelah, karena baru pulang misa arwah dari Panglong, telephone tiba-tiba berdering. Panglong itu stasi terjauh dari pusat Paroki Allah Tritunggal. Jarak Tanjung Uban-Panglong kurang lebih 90 km, ditempuh dengan durasi waktu kurang lebih 1,5 jam, bila kaki sang sopir menginjak gas mobil dengan kecepatan rata-rata 80 km per jam. Jalannya memang berliku-liku. Itulah sebabnya, kurang lebih pkl. 22.00 WIB, saya sudah memasuki kamarku yang berukuran kecil untuk membaringkan diri, karena sepanjang siang tidak istirahat. Lampu sudah kumatikan, namun dua batang lilin kubiarkan menyala sampai mati sendiri. Kebetulan ada novena pribadi yang ingin kujalani. Kepala baru menyentuh bantal. Tiba-tiba seorang adik dari MBPA mengabarkan bahwa ia dengar salib di Gereja MBPA sudah diturunkan. Ia berencana mau pergi melihat. Namun saya langsung menjawab dalam telephone itu bahwa memang benar, salib sudah diturunkan. Tak tahan dengan jawaban saya, adik ini
Gambar
  Saya merevisi sedikit tulisan saya beberapa hari yang lalu. Walau masih dengan judul yang sama, namun saya harus merevisi lagi di sana sini agar dipahami saat dibaca. Waktu itu saya memang menulisnya cepat-cepat, mungkin karena terlalu emosi. Saya sertakan juga beberapa foto yang dikirim Mas Kosmas, dkk di group agar menyempurnakan tulisan ini. Terima Kasih.     HATIKU SANGAT SEDIH (Mrk. 14: 34) Tiba-tiba hatiku sangat sedih. Sedih sebagaimana dialami Yesus di Getsemani, saat Ia tahu bahwa sebentar lagi Tubuh-Nya akan dihancurkan oleh musuh-musuh-Nya, dengan memanfaatkan Yudas sang murid yang rakus uang. Kesedihan ini muncul ketika seorang umat Paroki Maria Bunda Pembantu Abadi (MBPA) mengirimkan foto tentang aktivitas penghancuran panti altar yang sedang berlangsung di dalam gereja. Saya sangat kaget mendapatkan foto itu. Dalam hati saya bertanya:” ada apa gerangan sehingga umat berani menghancurkan altar nan megah, tempat Tuhan mempersembahkan diri-Nya untuk umat-Nya? Set
  SI BUTA YANG MELIHAT ( Senin Pekan ke-33)   Hari ini aku belajar pada si buta; pada dia yang ditelantarkan di pinggir jalan. Kalau saja dia sekedar barang komoditas dari para pebisinis yang memanfaatkan kebutaan untuk mendapatkan remah-remah, seperti yang saya jumpai di persimpangan-persimpangan   jalan di Batam; saya tak perlu bertanya:” sejak jam berapa dia ditempatkan di pinggir jalan itu”. Namun pagi ini aku harus bertanya sejak kapan ia ditelantarkan di pinggiran jalan itu? Apakah sejak bayi? Atau ketika ia sudah beranjak dewasa? Aku perlu bertanya karena orang Yahudi menganggap buta sejak lahir adalah kutukan dan aib yang harus dijauhkan. Dan oleh karena itu menempatkan si buta di pinggir jalan adalah sebuah tindakan membuang orang-orang kutukan oleh keluarga dan masyarakat. Ia dibuang, karena oleh cacat fisik yang ia miliki, ia dianggap sampah sebab tak sanggup menata hidup, selain mengandalkan remah-remah yang dibuang oleh   mereka yang berpunya. Ia dibuang, karena
  HATIKU SANGAT SEDIH (Mrk. 14: 34) Tiba-tiba hatiku sangat sedih, mengalami kesedihan Yesus karena Ia tahu sesaat lagi Tubuh-Nya akan dihancurkan oleh musuh-musuh-Nya, dengan memanfaatkan Yudas sang murid yang rakus uang. Kesedihan ini muncul ketika seorang umat Paroki Maria Bunda Pembantu Abadi (MBPA) mengirimkan foto tentang aktivitas penghancuran panti altar yang sedang berlangsung di dalam gereja. Semakin sedih, karena foto itu dikirim, dengan sebuah pertanyaan: apakah altar yang menjadi pusat konsekrasi sebuah Gereja bisa dihancurkan? Saya tak berani menjawab. Sebab sebetulnya bisa saja bila kondisi panti dan altar sudah rusak parah dan tak bisa lagi menghadirkan misteri korban salib, sehingga harus direnovasi. Tetapi panti altar yang ada di Gereja MBPA justru masih sangat-sangat anggun, kokoh dan sangat berkualitas. Alasan apapun tak bisa digunakan sebagai dasar untuk menghancurkan, selain niat busuk dari para perencana.       Saya ingat bagaimana peliknya rancangan atas
  JANGAN MENYALAHGUNAKAN KEKUASAAN (Rabu Pekan ke XXXII)   Aldous Huxley ( 1894-1963) , penulis Inggris yang hidup di akhir abad 19, pernah menggaungkan kecemasan hatinya :” All democracies are based on the proposition that power is very dangerous and that it is extremely important not to let any one person or small group have too much power for too long a time ( Semua demokrasi didasarkan pada proposisi bahwa kekuasaan sangat berbahaya dan sangat penting untuk tidak membiarkan satu orang atau kelompok kecil memiliki terlalu banyak kekuatan untuk waktu yang terlalu lama). Apakah kecemasan hati ini merupakan refleksi lanjut dari pemikiran Edmund Burke( 1729-1797) ? Tidak diketahui pasti. Yang jelas, Edmund Burke, filsuf dan politikus Inggris ini juga pernah mengatakan bahwa makin besar kekuasaan makin besar bahaya penyalahgunaannya. Begitulah kekuasaan. Ia bagai silet yang kedua sisinya sangat tajam untuk digunakan, tergantung bagaimana menggunakanyya. Bila digunakan untuk me