JANGAN MENYALAHGUNAKAN KEKUASAAN

(Rabu Pekan ke XXXII)

 

Aldous Huxley (1894-1963), penulis Inggris yang hidup di akhir abad 19, pernah menggaungkan kecemasan hatinya:” All democracies are based on the proposition that power is very dangerous and that it is extremely important not to let any one person or small group have too much power for too long a time (Semua demokrasi didasarkan pada proposisi bahwa kekuasaan sangat berbahaya dan sangat penting untuk tidak membiarkan satu orang atau kelompok kecil memiliki terlalu banyak kekuatan untuk waktu yang terlalu lama).

Apakah kecemasan hati ini merupakan refleksi lanjut dari pemikiran Edmund Burke(1729-1797)? Tidak diketahui pasti. Yang jelas, Edmund Burke, filsuf dan politikus Inggris ini juga pernah mengatakan bahwa makin besar kekuasaan makin besar bahaya penyalahgunaannya.

Begitulah kekuasaan. Ia bagai silet yang kedua sisinya sangat tajam untuk digunakan, tergantung bagaimana menggunakanyya. Bila digunakan untuk merebut dan mempertahankan status quo, semua lini bisa dimanfaatkan, segala cara bisa digunakan, semua komponen bisa dioptimalkan. Namun bila digunakan untuk melayani, maka kekuasaan bisa membentuk seseorang untuk menjadi abdi bagi rakyatnya. Seluruh waktu dan tenaga dicurahkan untuk membangun rakyatnya.

Negara komunis, semisal Korea Utara,  sering mempertontonkan tabiat penguasa otoriter itu. Kejam. Rakyat dibungkam, haknya dipasung. Bila perlu darah rakyatnya harus dialirkan sebagai ritual untuk mempertahankan kedudukan.

Belajar dari kejamnya kekuasaan otoritarianisme itu, Indonesia sejak awal memilih demokrasi sebagai pilihan dalam hidup bernegara, dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Pilihan ini menempatkan rakyat sebagai pihak yang berkuasa. Rakyatlah yang memilih para pelayan untuk mengabdi mereka, supaya oleh pelayanan itu, Indonesia dari waktu ke waktu terus bertumbuh dan berkembang menuju visi kemerdekaan: Negara yang berdaulat, adil dan makmur.

Namun fakta sejarah berkata lain. Upaya untuk meraih mimpi kemerdekaan melalui jalan demokrasi itu rupanya tidak mudah. Soekarno yang berjuang meletakkan dasar-dasar demokrasi harus dilengserkan demi membangun sebuah orde kekuasaan baru. Demokrasi yang dicanangkan Presiden pertama itu dianggap sebagai orde lama, yang perlu diganti dengan sebuah orde yang otoritarian.  Semua lini dimanfaatkan, segala cara digunakan, semua komponen  dioptimalkan untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan yang otoriter itu. Rakyat dibungkam.

Pemilu memang diadakan tetapi sekedar sebagai alat tipu-tipu, karena hasil sudah ditetapkan sebelum penghitungan suara. Hanya Golongan Karya yang dipatenkan untuk berkuasa, sedangkan dua partai lain, PDI dan PPP, cukup sebagai pemain latar untuk memperlihatkan bahwa demokrasi tidak mati. Kolusi, korupsi dan nepotisme menjadi praktek hidup yang dilanggengkan mulai dari pusat sampai daerah.

Namun kebusukan kuasa otoritarian tak bisa disembunyikan. Setelah bau amis otoritarian itu tak bisa ditampung oleh hidung rakyat yang terus menghirupnya sepanjang 32 tahun, kekuasaan otoriter itu akhirnya harus ditumbangkan dan lahirlah orde reformasi. Kendati demi kelahiran orde ini butuh tumbal darah mahasiswa dan rakyat, baik yang bisa dijumpa dan dikebumikan maupun mereka yang belum diketemukan sampai saat ini.

Perjuangan untuk melahirkan Orde Reformasi ini memang dimaksud untuk mengoreksi orde baru yang otoritarian, agar kelanjutan cita-cita demokrasi yang sudah dibangun oleh the founding fathers bisa terimplementasi: membiarkan rakyat berkuasa; membuka jalan selebar-lebarnya bagi rakyat untuk memilih abdi-abdinya untuk melayani demi tercapai Indonesia yang berdaulat, adil dan makmur. Demi mencapai cita-cita itulah, putri sulung pendiri bangsa, Megawati Soekarno Putri menjadi tokoh sentral untuk memulai babak lanjutan dalam mengembangkan demokrasi yang dicita-citakan itu.

Dalam catatan sejarah, pemilu yang sungguh jujur, luber, penuh pesona fair play tanpa intervensi, justru terjadi dalam era kepemimpinan Mbak Mega. Bahkan pidato kebangsaannya baru-baru ini membuat saya terharu dan bangga, karena demi hidup dan keberlangsungan demokrasi, ia mendirikan Mahkamah Konstitusi, yang kehadirannya telah ikut mempercantik wajah dan memberi mutu pada kehidupan demokrasi. Suka atau tidak suka, Mahkamah Konstitusi telah menjadi lembaga terakhir bagi masyarakat untuk mencari dan mendapatkan keadilan, ketika demokrasi ingin dikoyakkan oleh intervensi kekuasaan.  

Sayang setelah pesta perak perjalanan demokrasi, kekuatan orde otoritarian gaya orba ingin kembali berkuasa. Fenomena seperti penertiban baliho khusus kepada calon tertentu dengan menggunakan aparat, atau munculnya bahasa kamuflase yang tampak dalam istilah “sein kiri belok kanan”, atau juga istilah Mahkamah Keluarga untuk memperlihatkan kelicikan dan tipu muslihat demi meraih kekuasaan melalui alur kolusi dan nepotisme; semakin menegaskan bahwa jalan demokrasi tidak selalu mulus; dan usaha untuk kembali kepada kekuasaan otoritarian orba, tak pernah berhenti. Nafsu kuasa bisa mengubah spirit dan cita-cita. Mereka yang dulu dipuja puji sebagai demokrat sejati bisa saja berubah haluan untuk menjadi penguasa abadi.

Kita tidak tahu apakah arus balik menuju orde baru ini sudah dikalkulasi matang, setelah menghitung bahwa generasi yang merasakan getirnya orde baru sudah berkurang dan generasi Y dan Z yang mendominasi? Entahlah!

Walau mungkin waktunya tidak tepat, namun pesan Kitab Kebijaksanaan hari ini, Rabu Pekan ke XXXII,  harus saya wartakan, “hai para penguasa Tuhanlah yang memberi kalian kekuasaan, dan dari Tuhan yang Mahatinggilah asal pemerintahan. Ia akan memeriksa segala pekerjaanmu dan menyelami rencanamu. Sebab kalian hanyalah abdi Kerajaan-Nya. Kalau kalian tidak memerintah dengan tepat, tidak pula menepati hukum, atau tidak berlaku menurut kehendak Allah, Ia akan mendatangi kalian dengan dahsyat dan cepat. Hendaklah kalian belajar menjadi bijaksana dan jangan sampai jatuh”.

Aldous Huxley benar. Semua demokrasi didasarkan pada proposisi bahwa kekuasaan sangat berbahaya dan sangat penting untuk tidak membiarkan satu orang atau kelompok kecil memiliki terlalu banyak kekuatan untuk waktu yang terlalu lama.

Demi membasmi penyalahgunaan kekuasaan serta menjamin pertumbuhan kualitas demokrasi itulah, ibu Prof. Dr. Megawati Soekarno Putri dan PDIP mengambil pilihan yang tidak populer, membatasi kekuasaan presiden selaras dengan tuntutan konstitusi, tanpa harus mengujinya ke Mahkamah Konstitusi, di saat rating kepuasan Jokowi berada di angka yang sangat menakjubkan. Mungkin sudah takdir bahwa Megawati dan PDIP menjadi tameng demokrasi.

 

MV

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini