MENGAPA KAMU BERPIKIR BEGITU DALAM
HATIMU?
(Mrk. 2: 1-12)
Pertanyaan Yesus,” Mengapa kamu berpikir begitu dalam hatimu”, menyentuh saya kemarin dan hari ini karena pertanyaan
ini adalah teguran keras kepada siapa saja yang tak pernah menerima Sakramen
Tobat dalam hidupnya. Kemarin ketika Yesus mengampuni dosa si lumpuh, dan oleh kuasa
pengampunan itu ia menjadi sembuh, para ahli taurat memberi reaksi kepada Yesus.
Yesus dicap sebagai seorang penghujat Allah, sebab bagi mereka hanya Allah yang
berkuasa mengampuni dosa; sementara Yesus hanya dikategorikan sebagai seorang
manusia pendosa yang tak bisa mengampuni dosa.
Dan hari ini, ketika Yesus makan di
rumah Lewi bersama para pemungut cukai dan orang berdosa, lagi-lagi para ahli taurat
mencibirnya, karena tak pantas bagi seorang Penyelamat harus berbaur dalam
kerumunan bersama kaum pendosa. Namun respons Yesus atas cicibiran itu
menakjubkan:” Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang
berdosa!” Reaksi para ahli taurat
kemarin dan hari ini membuat pertanyaan Yesus kemarin bagai pisau bedah yang
menggugat jiwa:” Mengapa kemu berpikir
begitu dalam hatimu?”
Dua kisah, kemarin dan hari ini sangat
menyentuh sekaligus menggugat saya dalam ziarah pekan ini, karena harus diakui
bahwa salah satu alasan perpecahan dalam Gereja, yang sejak awal adalah satu,
kudus, katolik dan apostolic, menjadi Gereja Protestan dan dalam perjalanan
waktu terus beranak cucu dalam perpecahan, adalah tema tentang Sakramen Tobat.
Bagi Gereja Protestan, pihak yang
memiliki otoritas dan berkuasa penuh untuk mengampuni dosa hanyalah Allah. Maka
bila seseorang berdosa, ia tinggal berdoa untuk memohon ampun di hadapan Tuhan. Dosa menjadi urusan
privat belaka. Dan oleh karena itu, bila berdosa, tinggal katakan dosa dan
mohon ampun dengan keyakinan iman, maka secara otomatis Tuhan pasti ampun. Sola
fide. Tidak ada Sakramen Tobat.
Tidaklah demikian bagi Gereja Katolik
yang sejak awal mula dibangun atas dasar kuasa Apostolik (Rasuli). Bagi Gereja
Katolik, kuasa pengampunan memang berasal dari Tuhan. Tetapi atas kehendak-Nya
sendiri, Tuhan menetapkan orang-orang pilihan-Nya dalam Sakramen Imamat untuk
senantiasa berindak dalam dan oleh Dia (in
nomine Christi Capitiis. Itulah sebabnya, sebelum menderita dan wafat, Tuhan
menahbiskan mereka, supaya mereka bertindak dalam Dia untuk selalu melakukan Kurban
Perjamuan, agar peziarah dunia tetap menghidupi dirinya dengan Sumber
Hidup Kekal, yakni Tubuh dan Darah Tuhan, sejak masih di dunia ini. Sebab hanya
Tubuh-Nya benar-benar makanan dan Darah-Nya benar-benar minuman (Yoh. 6: 55);
santapan yang turun dari surga untuk memberi hidup kepada dunia (Yoh. 6: 32). Namun
demikian, kata Paulus, siapa saja yang menyambut Tubuh Kristus, harus
memastikan dirinya dalam keadaan kudus (1 Kor. 11: 27-28).
Demi pelestarian karya dan rahmat pengudusan
inilah, Tuhan lagi-lagi menetapkan kepada orang-orang pilihan-Nya untuk
bertindak dalam Dia mengampuni orang-orang berdosa yang hendak bertobat (Yoh.
20: 22-23). Sebab dosa mengakibatkan putusnya hubungan dan hilangnya komunio
dengan Tuhan dan dengan sesama, yang berakibat pada eks komunikasi. Dan demi
pemulihan hubungan itu, dibutuhkan Sakramen Tobat dari pihak manusia dan Sakramen
Pengampunan dari pihak Allah, agar dalam Sakramen Perdamaian itu terjadi
pemulihan hubungan, supaya seseorang kembali berkomunio dengan Tuhan dan dengan
sesamanya; tidak lagi ada eks komunikasi.
Cara pikir ahli taurat terhadap Yesus
kemarin dan hari ini, yang juga dalam sejarah diikuti oleh sekelompok umat
katolik sampai akhirnya memecahkan diri, kini mulai merasuki orang-orang
katolik modern. Celakanya orang-orang ini tetap katolik sekaligus tak mau
menerima sakramen tobat karena menganut ajaran para ahli taurat, bukan ajaran
Yesus dan para rasul. Mereka ini komunio dalam ekaristi dengan jiwa tak pantas
dan dalam spirit eks komunikasi. Orang-orang ini dikategorikan oleh Santo
Yohanes Paulus II sebagai pendosa besar, karena katanya, dosa terbesar dalam
dunia modern adalah orang merasa tidak berdosa lagi. Mereka memaklumkan dirinya
sebagai malaikat yang hidup di dunia.
Kondisi kehidupan beriman serperti ini
membuat pertanyaan Yesus kemarin menjadi titik simpul refleksi pekan ini:” mengapa kamu berpikir begitu dalam hatimu?”
Komentar
Posting Komentar