MISTERI KURSI
NOMOR 27
Aku duduk di kursi nomor 27 dalam
pesawat Lion hari ini. Aku tidak tahu apakah dek Nia di Jerman sengaja memilih
nomor kursi itu, saat check in online,
atau karena hanya kursi itu yang tersedia? Tetapi itulah
titik awal ziarahku pada tanggal 5 Mei, 2025, ketika merenungkan jejak imamat,
saat menuju Pangkalpinang, pusat Keuskupan yang kepadanya aku
menginkardinasikan diriku sejak menjadi calon imam 37 tahun silam, maupun saat aku
diurapi menjadi imam Diosesan Pangkalpinang, yang hari ini genap berusia ke-27
tahun.
Kata para pakar, saat-saat krusial
yang membutuhkan kekuatan ekstra para pilot dalam mengemudikan pesawat bukanlah
pada saat pesawat berada di angkasa, melainkan justru di saat pesawat tinggal
landas menuju angkasa, dan di saat pesawat harus turun untuk mendarat ke bumi.
Dalam dua situasi ini, pilot harus
sungguh memperhatikan seluruh komponen burung terbang itu, mengatur derajat
kemiringan yang tepat, memperhatikan setiap kondisi serta tuntunan aturan penerbangan
secara cermat, karena di tangan sang
pilot nasib ratusan nyawa penumpang yang ada di belakangnya ditentukan.
Bayangan akan tugas pilot pesawat
dengan segala konsekwensinya itu seakan
membuai peremungan 27 tahun imamatku di kursi nomor 27. Apalagi trauma Nam Air
yang saya tumpangi bersama Romo Benny,
saat pesawat dalam posisi sedang turun untuk mendarat di Si Langit belum
pulih. Itulah sebabnya ketika pramugari
mengumumkan segala aturan yang harus dipatuhi, baik di kala pesawat hendak
tinggal landas maupun di saat pesawat hendak landing ke bandara, saya selalu tutup mata dan dalam hati terus
menyerahkan diri dalam perlindungan Bunda Pembantu Abadi. Namun hari ini, entah
mengapa, di kursi nomor 27 itu, bayangan akan tugas pastor paroki bagaikan tugas
orang nomor satu yang duduk di kursi paling depan dalam pesawat Lion itu. Demi
menjadi pilot pastoral, saya ditempa sebagai ko-pilot saat menjadi imam muda di
Paroki Kaetdral, dengan tugas khusus melayani umat di hutan-hutan Bangka Tengah
dan Bangka Selatan, dengan luas jangkauan tiga kali Pulau Lambata, sambil
mengelola KOMSOS Keuskupan. Kala itu saya mulai belajar bagaimana
mengoperasikan sebuah pesawat pastoral untuk membawa umat ke arah yang
diimpikan. Hanya dalam kurun waktu 4 tahun, saya seakan mendapatkan license
pilot dari sang imam agung yang menahbiskan saya, setelah mempersiapkan Koba
menjadi Paroki di tahun 2000, dan setelah mempersiapkan Tembesi di tahun 2002. Sang imam agung itu adalah almahrum Mgr.
Hilarius Moa Nurak, SVD.
Saat ditetapkan menjadi pastor paroki
secara lisan di meja makan sangat sederhana di pondok “bengkel” pastoran
Tembesi, hati saya sempat kecut, karena menjadi Pastor Paroki dalam usia imamat
yang masih muda bukanlah sesuatu yang ideal. Selain tak ada alat ukur
pencapaian yang menjadi alasan mengapa saya diangkat menjadi pastor paroki; ada
juga beberapa imam senior kala itu yang terkesan masih nganggur, yang butuh
ditempatkan sebagai Pastor Paroki. Saya hanya menduga kemungkinan besar
almahrum Bapa Uskup mengukurnya dari kesetiaan saya pada pedoman pastoral hasil
Sinode 2000 yang menjadi pegangan saya
satu-satunya dalam mempersiapkan paroki, baik Koba maupun Tembesi. Dan harus
saya akui bahwa Pedoman Pastoral hasil discernment sinodalitas Gereja adalah satu-satunya
pegangan saya dalam mempersiapkan dan mengelolah paroki di manapun saya
ditempatkan. Sebagaimana prinsip Para Rasul di hadapan Mahkamah Agama:”Kita
harus taat kepada Allah daripada kepada manusia(Kis. 5: 29)”, demikian juga
dalam pastoral, saya selalu berprinsip:” saya harus taat kepada Gereja daripada
kepada diri saya sendiri”, sebagaimana ketaatan seorang pilot saat menerbangkan
pesawat.
Membayangkan semua situasi itu di
kursi nomor 27 pesawat Lion, saya menyadari bahwa tidak mudah menerbangkan
pesawat pastoral untuk membawa umat mengangkasa menggapai langit ilahi demi
meraih mimpi; dan tidak mudah pula membawa
umat landing membumi, melihat fakta
dan situasi aktual, merenungkannya secara mendalam dan bagaimana dengan segala
kemampuan yang ada, mengatasinya secara bersama. ternyata baik untuk
mengangkasa maupun untuk membumi dibutuhkan kesadaran umat yang tinggi,
kualitas iman yang mumpuni, serta spiritualitas hidup umat yang mendalam. Dan
oleh karena itu pemberdayaan-pemberdayaan dan pemberdayaan adalah kebutuhan
vital pastoral. Tanpa itu sulit menerbangkan atau melandingkan pesawat
pastoral, selain memarkirnya di halte, dan setiap saat membuat seminar
bagaimana menerbangkan dan melandingkan pesawat pastoral itu.
Saya akhirnya ingat Koba yang saya
persiapkan menjadi Paroki tahun 2000-2001, saat masih sebagai ko-pilot. Entah
bagaimana nasibnya kini. Saya juga ingat Tembesi yang bagi saya bagai
menerbangkan dan melandingkan peswat di saat cerah dengan seluruh onderdil yang
berada dalam keadaan siap operasi. Tidak tahu apakah pilot yang baru masih
menggunakan onderdil yang ada untuk menerbangkan dan melandingkan pesawat pastoral, atau ia memiliki tekhnik
lain yang lebih canggih untuk segala situasi.
Di kursi nomor 27, saya ingat juga Parokiku
kini yang kuberi nama Paroki Allah Tritunggal. Nama ini kurenung begitu lama, lima tahun,
saat mengalami sukaduka untuk membangun komunio umat yang telah begitu lama
dibiarkan hidup dalam sektarian, apatis dan dimanjakan oleh donatur. Kini
paroki ini mulai menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan, walau tidak secepat
Tembesi, dengan tantangan serius dari satu dua umat sehingga melukai seluruh
Tubuh Mistik. Menghadapi realitas itu, saya merasa seperti Santo Stephanus hari
ini (Kis. 6: 8-15), santo yang juga merupakan nama pelindung ayahku. Ketidakpuasan
para musuh dalam dialog dengan Stephanus, sehingga musuh-musuhnya menggunakan
cara menghasut orang untuk ikut mempersalahkan, memberikan kesaksian palsu,
karena tak ada celah untuk mempersalahkannya; demikian juga pengalamanku saat
ini. Saya akhirnya diteguhkan oleh
pengalaman Yesus, bahwa ketika kita bekerja untuk makanan yang tak dapat
binasa, berhadapan dengan segelintir orang yang hanya memikirkan makanan yang
dapat binasa, maka pengalaman – pengalaman Stephanus akan terus dialami.
Tiba-tiba dari arah pilot, pramugari
pesawat mengumumkan bahwa pesawat akan landing. Segala peraturan yang harus
ditaati harus dilaksanakan. Kami mendarat di Pangkalpinang dengan mulus dan
selamat. Jam 9. 30 aku meninggalkan kursi nomor 27 dan segera meluncur menyusuri
jejak baru di bumi serumpun sebalai, menyapa Bunda Perawan Wahyu, Bunda yang
telah meneguhkan sahabatku RD. Benny yang baru dua hari silam merayakan 27
tahun imamatnya. Gua ini dibangun Rm. Beny persis aslinya yang ada di Roma, dan
baru diberkati beberapa bulan silam. Aku sepintas melihat patung St. Paulus
yang dipenggal kepalanya, karena di Roma, tempat gua Maria Perawan Wahyu
menampakkan diri adalah tempat dulu Paulus dipenggal dan bagaimana kepalanya terpelanting
sampai di lokasi tempat Bunda Maria menampakkan diri kepada Brununo. Aku
sepintas melihat sambil membayangkan situasiku saat ini, namun aku belum
sanggup memberi diri untuk dipenggal.
Malam hari, saat bersama Rm. Franky
berziarah ke makam Uskup Penahbisku, aku seakan kembali lagi ke 27 tahun silam.
Pagi itu, 5 Mei 1998, pukul 4. 30, entah mengapa, pintu kamar kami yang
berhadapan dibuka bersama. Suara lembutnya membuka kesunyian:” bagaimana
persaaanmu saat ini?” Aku hanya senyum tetapi juga cemas membayangkan tenda
yang rubuh oleh hujan badai di musim kemarau dan bagaimana panitia tahbisan
pontang panting untuk mendirikan ulang tenda-tenda demi tahbisan yang akan
diselenggarakan jam 09.00 nanti. Dan malam ini, di makamnya, suara yang
kudengar 27 tahun silam itu seakan kembali memecah kesunyian:” bagaimana
perasaanmu saat ini”. Aku hanya terdiam..mungkin di seberang sana, Bapa Hila
tetap memantau apa yang sedang bergejolak baik di tingkat Keuskupan maupun di
Parokiku yang baru berumur 1,11 tahun.
Kuakhiri ziarah imamatku dengan
bergerak dari makam Bapa Hila ke gua Maria Perawan Wahyu. Dalam kesunyian gua
yang sangat hening ini, aku memandang Bunda Maria seraya mendaraskan Rosario di
hari ke-5, dengan intensi untuk para penjasa yan berlaksa jumlahnya baik yang
telah meninggal dan maupun yang masih hidup, untuk keluarga, untuk uskup dan
rekan imam, juga untuk umat yang aku layani saat ini. Dan bersama dengan Maria
di keheningan gua itu, aku membalas semua WA yang masuk ke HPku.
Kepada uskup dan para imam, aku hanya
menulis bahwa bekerja untuk makanan yang tak dapat binasa bukan hal yang mudah,
namun bukan berarti kehilangan harapan. Persekutuan imamat adalah penting.
Kepada rekan-rekan imam yang menyapa saya secara pribadi, kutulis perasaanku
saat merenungkan santo Stephanus:”imamat dan korban adalah dua misteri yang
dirayakan serentak di altar korban demi menghidupkan, supaya di kala peristiwa
salib dihadirkan di altar kehidupan, aku selalu dikuatkan dan diteguhkan”.
Kepada umat, kutulis demikian:”Kita
adalah Tubuh Kristus. Tanpa kamu, aku sama sekali tak berarti. Tetapi tanpa
aku, kamu tak bisa hidup. Itulah rancangan Allah atas Gereja, yang di dalamnya
aku dan kamu adalah satu. Imamat khusus yang aku miliki adalah demi imamat umum
yang kalian miliki. Dan imamat umum yang kalian miliki adalah untuk kekudusan
dan kehidupan Tubuh Mistik Kristus. Mari kita rajutkan semua itu di tahun
sinodalitas ini agar paroki sebagai artikulasi
hidup Allah Tritunggal akhirnya memancar dan bersinar seperti air dan darah dari lambung Yesus.
Kepada Organ Pastoral, aku menulis
demikian:” Di hadapanmu aku seorang imam. Aku bekerja untuk makanan yang tak
dapat binasa,sebagaimana dikatakan Yesus hari ini. Sebuah tugas dan panggilan
yang mengandung resiko. Namun bersamamu, aku hanyalah kepala dan kalian adalah
organ. Kesatuan kita adalah kunci kehidupan Tubuh Mistik”.
Akhirnya dalam kesunyian itu, aku juga
menyapa keluarga, bahkan tulisannya agak panjang untuk mengungkapkan
perasaanku. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih dan syukur karena aku
seperti aku sekarang sejatinya oleh kasih Allah, tuntunan Bunda Maria dan
karena topangan keluarga yang dinyatakan dalam berlaksa cara, sehingga 27 tahun
dirasa seperti hari kemarin.
Mengakhiri semua balasan WA dari
keheningan dua, kuakhiri pula ziarahku hari ini, tidak lagi di kursi nomor 27,
tetapi kursi plastic warna hijau yang terletak di tiang dalam gua Maria. Bunda
Perawan Wahyu, Pembantu Abadi yang selalu menuntun dan membimbing. Doakanlah
aku dan Beny.
Komentar
Posting Komentar