DIRGAHAYU
HASTO DAN TOM
Hari ini, selain apel akbar dan aneka
kegiatan kreatif lainnya, insan-insan Katolik mengungkapkan nasionalisme
sebagai anak bangsa, dengan merayakan syukur yang teragung atas kemerdekaan,
yakni dalam Ekaristi. Sumber dan Puncak hidup. Sebab dalam Ekaristi itulah
siapa saja tanpa kecuali, termasuk anak-anak
bangsa Indonesia, mendapatkan kemerdekaan sejati dari sumbernya, yakni
Kristus. Sukacita kemerdekaan bangsa dirayakan di jantung kehidupan iman,
karena memang bangsa ini meraih kemerdekaan, bukan hanya dengan tetesan darah
para pahlawan, tetapi juga karena berkat rahmat Allah yang Mahakuasa,
sebagaimana yang dikatakan dalam praeambulum UUD 1945.
Dalam kesatuan dengan Ekaristi, untuk merenungkan
dan memberi makna Kemerdekaan Indonesia yang ke-80 bersama Tuhan, Sang Tokok
Pembebas, insan katolik dihadapkan pada dua kelompok manusia yang juga datang
kepada Yesus. Dua Kelompok itu adalah
Kaum Farisi dan Kaum Herodian.
Kaum Herodian adalah kaum oportunis,
yang sering disebut manusia dua sisi. Orang-orang ini disebut manusia dua sisi,
karena di satu sisi, orang-orang ini adalah para penjilat Raja Herodes demi
melestarikan jabatan dan kekayaan; di sisi yang lain, orang-orang ini juga tak
memiliki kasih kepada mayoritas masyarakat bawah yang ditindas Herodes atas
nama penjajah Romawi. Itulah sebabnya, kaum ini sangat ditakuti oleh masyarakat
karena mereka ini adalah tukang jagalnya Herodes. Kaum Herodian inilah yang memenggal kepala Yohanes
Pembaptis, hanya karena ia berani bersuara
lantang melawan kelaliman Herodes, yang berselingkuh dengan Herodias, istri
Raja Philipus. Mereka juga yang membunuh
beberapa orang Galilea lalu membawa darahnya kepada Pilatus untuk dicampurkan
dengan darah korban, sebagaimana dilansir dalam Luk: 13: 1.
Sebagaimana Herodes yang oportunis,
tunduk dan menjilat Kaisar Romawi dengan menindas bangsa Yahudi; demikian
pula perilaku kelompok Herodian ini.
Mereka akan melibas siapa saja, tanpa refleksi budi dan mendengar hati nurani,
demi memapankan kekuasaan Herodes, tetapi juga agar kedudukan mereka tak
diganggu dan kekayaan tak terkurangi.
Begitu buasnya Herodes dengan
antek-antek penjilatnya, sehingga Yesus bahkan memberinya gelar sebagai
serigala (binatang pemangsa) dan menyatakan kesiapannya untuk mati di Yerusalem,
ketika Ia diminta orang-orang farisi untuk meninggalkan salah satu desa di
Galilea, karena kaum Herodian berencana untuk membunuh-Nya (Luk. 13:
31-32). Response Yesus itu mengobati
luka terdalam yang dimiliki mayoritas masyarakat Yahudi, yang ditindas
sewenang-wenang oleh para penguasa. Mereka
seakan merasa terwakili suara dan kerinduannya oleh suara Yesus; suara
Tuhan.
Selain Herodian, ada juga kelompok
kedua, yakni kaum Farisi. Kelompok ini pada umumnya beranggotakan pemuka agama
yang juga memiliki ikatan erat dengan penjajah romawi. Mereka ini memandang
diri mereka sebagai penguasa Yahudi, baik dalam urusan agama maupun politik.
Mereka berusaha mengontrol masyarakat melalui kerjasama dengan orang-orang
romawi. Tidak heran,
mereka selalu berusaha untuk mengintimidasi Yesus serta orang-orang kritis
lainnya, bila memberi pernyataan keras kepada penjajah, Herodes dan
antek-anteknya. Itulah mengapa orang-orang farisi ini selalu ada di mana Yesus
berada; bukan untuk mendengarkan ajaran-Nya, melainkan untuk mengintai dan
mencari-cari kesalahan supaya bisa memiliki alasan untuk memperkarakan Yesus,
sebagaimana yang dikumandangkan pada hari kemerdekaan ini.
***
Kaum Herodian dan kaum Farisi, menjadi
sososk-sosok inspiratif pada ekaristi kemerdekaan hari ini, karena dipicu oleh
pertanyaan dalam diri saya:” Apakah benar 80 tahun ini kita sedang mengarah
kepada kemerdekaan? Atau sejatinya penjajahan masih tetap berlangsung akibat
terpeliharanya kaumk farisi dan herodian, yang bersekongkokol dengan penjajah
dan penguasa, sehingga penjajahan terus merajalela dengan cara dan wajah baru
di negeri tercinta ini?
Insan Katolik perlu merenungkan kondisi
kemerdekaan ini, karena ketika mengikuti perkara hukum atas dua tokoh katolik
Hasto Kristianto dan Thomas Lembong, dengan segala intrik yang dipamerkan; saya
justru disadarkan bahwa selama kaum Herodian dan kaum Farisi tetap dipelihara, 17 Agustus mungkin tetap
kita rayakan, tetapi penjajahan tak pernah pergi dari bumi tempat kita hidup.
Mazmur tanggapan menenegaskan bahwa kita dipanggil untuk kemerdekaan. Dan oleh
karena itu, kata St. Petrus, kita perlu hidup sebagai orang-orang merdeka
dengan cara menghormati pemimpin Negara bersama segala aparaturnya, serta
menghormati semua orang dalam kasih dan ketakutan akan Allah. Namun kehadiran
dua insan katolik, Hasto dan Tom, membuka wawasan baru bahwa orang katolik
tidak dipanggil untuk menjadi kelompok farisi dan kelompok herodian. Kaum
Katolik dipanggil untuk mengikuti Tuhan; Tuhan yang tidak mencari muka, sebagaimana
diakui kaum Herodian, agar bisa terlibat aktif untuk memperkecil kecenderungan
segelintir orang yang menyalahgunakan kemerdekaan untuk menyelubungi
kejahatan-kejahatan mereka, sebagaimana dikatakan St. Petrus dalam bacaan II. Dan
oleh karena itu, echo sound “merdeka”
sangat pantas dialamatkan kepada dua orang katolik ini, karena mereka tak
mencari muka mengikuti Sang Guru, gagah berani pasang badan dengan segala
resiko, demi mengurai hakikat kemerdekaan yang terlanjur disalahgunakan oleh
Herodes dan antek-anteknya. Merdeka Indonesia.
Dirgahayu Hasto dan Tom.
Komentar
Posting Komentar