PEZIARAH PENGHARAPAN

Menakar Waktu (1)

(Kej. 1: 1-19; Mrk. 6: 53-56)

Ada rasa sukacita karena hari ulang tahunku di tahun 2025 ini dirayakan dalam pembukaan ret-ret tahunan para imam Keuskupan Pangkalpinang. Dengan itu HUTku tahun ini tidak kurayakan dalam kesendirian, sebagaimana kebiasaanku, melainkan menjadi sukacita bersama rekan-rekan imam, sebagai sesama peziarah pengharapan. Lebih dari itu, sukacita kurasakan, karena HUTku dimahkotai oleh bacaan tentang kisah penciptaan bab I: “Pada Awal Mula”.

Pada mulanya belum berbentuk dan kosong. Hampa...tak berisi…kacau tak beraturan…gelap. Begitulah pada awal mula. Kendati demikian, sebagai awal, ia tetap bermakna dalam waktu, sebab setiap langkah pertama adalah pemicu semua langkah berikutnya. Sepanjang apapun  jejak kehidupan, dia tetaplah hanya tenunan dari sebuah langkah awal: “Pada awal mula….. kendati gelap (Kej. 1: 1)

Namun dari hampa dan tak berbentuk itu, Allah kemudian mulai merancang jalan hidup alam waktu: dari gelap menuju terang. Allah ingin gelap terpisah dari terang agar terang mencahayai gelap. Dan mulailah terbentuk sebuah kronos; sebuah tenunan waktu yang bergantian: siang dan malam-terang dan gelap- sehingga terbentuklah  ziarah hidup dalam waktu: dari hari ke minggu, minggu ke buolan, bulan ke tahun.

Pada awal mula…belum berbentuk dan kosong—hampa. Saat itulah Allah memanggil dua sosok manusia yang saling jatuh cinta dan mengikat mereka menjadi satu daging. Dua insan itu adalah Stephanus dan Yuliana. Dalam ziarah cinta untuk mengisi siang dan malam-terang dan gelap- demi menempuh hari-hari untuk memaknai cinta itu, Allah merancang rencana-Nya agar “yang hampa dan tak berbentuk” itu mulai berproses menjadi “terisi dan berbentuk “ supaya gelap dipisah dari terang; supaya terang mencahayai gelap. Dan lahirlah seseorang yang diberi nama Poya, nama leluhur yang terus diulang sepanjang hampir 12 kali secara berurutan dalam silsilah keluarga insani dan diberi nama Lucius dalam keluarga Allah. Lucius  artinya terang; cahaya.

Kendati demikian, pemberian nama itu bukan karena sayalah terang itu, melainkan karena pada awal mula adalah Firman dan Firman itu adalah Allah. Dalam Sang Firman ini, aku dijadikan, sebab hanya dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya dalam kegelapan dan kegelapan tidak menguasainya. Ia telah ada dalam dunia tetapi dunia tidak mengenal-Nya (Yoh. 1: 1-5).

Syukurlah bahwa hari ini, ketika aku yang diberi nama terang merayakan HUTku di awal ret-ret, Markus mengisahkan bahwa ketgika Sang Terang itu mendarat di danau Genazareth, orang segera mengenal-Nya, sehingga semua orang yang terbelenggu dalam kegelapan, baik secara fisik maupun spiritual segera dibawa kepada-Nya  untuk dipulihkan. Sebab Dia memang diutus Bapa berinkarnasi ke tengah dunia agar siapapun yang terbelenggu dalam dan oleh kegelapan diantar menunju terang, karena Dialah terang itu sendiri.

Kisah penciptaan oleh Sang Firman dalam Kitab Kejadian maupun kisah pemulihan oleh Sang Terang dalam injil membuat saya bertanya pada diriku sendiri:” Apakah HUT kelahiranku hari ini sekedar sebuah kebetulan dalam kronos atau sebuah proses menuju kairos di awal ret-retku? Apakah dua bacaan inspiratif dari Kejadian 1: 1-19 dan Mrk. 6: 53-58 ini adalah sebuah kebetulan atau sebaliknya sebuah pesan dari Sang Terang untukku? Entahlah!

Namun merenungkan semua jejak ziarah dan memaknainya, harus kuakui bahwa pada awal mula belum terbentuk dan kosong…hampa. Dalam kehampaan itu, Sang Terang merancang agar ada yang terlibat untuk terus menyatakan terang-Nya…Rancangan itu pada akhirnya menjadi nyata saat dua insan Stefanus dan Yuliana menjadi satu daging dalam ikatan cinta yang dimeteraikan oleh Sang Terang itu. Kesatuan cinta itu melahirkan aku ke tengah dunia, dan diberi nama Lucius artinya terang.

Kuakui pada mulanya gelap, namun Sang Terang itu terus  menuntun untuk memisahkanku dari gelap demi mengantarku menuju terang, sehingga terjadilan sebuah keajaiban: aku yang pada mulanya tak berbentuk menjadi terbentuk dan pada akhirnya ikut terlibat dalam misi Sang Terang itu, agar milik kepunyaan-Nya dapat mengenal Dia.  Mungkin karena itulah, aku sepertinya ditakdirkan oleh Dia supaya seluruh ziarah hidupku kubaktikan untuk mengantar milik kepunyaan-Nya; yakni siapa saja yang telah mengimani dan dibaptis, agar semakin mengenal  Sang Terang itu. Sang Terang itu adalah Yesus.

Bacaan hari ini menyadarkanku bahwa  kelahiranku bukan sebuah kebetulan. Namaku juga bukan sekedar sebuah tempelan. Aku diutus ke dunia oleh Dia. Dan dalam Dia pula namaku mempunyai makna. Nomen est omen. Namaku terang, namun aku bukanlah terang itu. Aku hanyalah seperti Yohanes Pembaptis, terus diutus membuka paroki baru, dengan maksud supaya terang yang kumiliki mengantar orang-orang untuk mengenal Sang Terang yang sesungguhnya.  Dan oleh karena itu, dalam doaku hari ini, hanya sebuah kalimat pendek kupersembahkan kepada Allah:” Semoga seperti dialami Yesus hari ini, umat paroki di manapun aku diutus, semakin mengenal Yesus dan menyambut-Nya di Genasareth kehidupan mereka.”

Tak lupa seberkas terima kasih kupersembahkan kepada Dia yang merancangku, sebab tangan-Nya telah menuntun dan membimbing aku dalam tenunan waktu, dengan simponi  terang-gelap silih berganti. Hanya satu pinta, jagalah jangan sampai jalan hidupku menyimpang. Terimakasih juga kupersembahkan kepada-Nya, karena atas rencana-Nya yang terlalu agung untuk kupahami, aku mendapatkan om dan tante, kakak-kakak bersama keponakan dan cucu-cucu yang menyebar di mana saja, Sarma dan Lumsi, Lina dan Mariana, Nia dan Vritz, Lia dan Leni, Shinta dan Aying, mama Dian dan Mama Tia bersama keluarga mereka, mama Vrisca dan mama Yosi bersama keluarga mereka, Om Hemaq dan bibi Bety bersama keluarga mereka, Pacelis dan om Alo Tio bersama keluarga mereka, Tini dan mama Phobi bersama keluarga mereka, Om Sebas dan Om Agus bersama keluarga mereka, Bu Ita dan Mama Louis bersama keluarga mereka,  Sintus dan Marliana, Yose dan Murni, Avin dan Anil, Ani dan Mama Kontas bersama keluarga mereka, Ery dan Kasianus bersama keluarga mereka, Mas Joni bersama keluarga serta keluarga Benihingan yang ada di Kijang. Terima kasih juga kepada  Bapa Uskup dan para imam, Romo Berto dan Romo Vikjen serta Ibu Yuliani yang mengajakku makan siang di hari ulang tahunku. Makan siang di HUTku apalagi bertempat di tanah Pasundan-Bandung merupakan sesujatu yang istimewa karena baru terjadi dalam hidupku.

Dalam tulisan singkatku untuk Bapa Uskup dan para imam, saya mengatakan:” Tambah usia selalu menegaskan bahwa manusia sejatinya adalah peziarah pengharapan. Dan oleh karena itu sapaan dan ucapanmu adalah sukacitaku hari ini sekaligus meneguhkan untuk terus berziarah menakar waktu dalam pengharapan. Semoga refleksi dan komitmen yang kta mulai hari ini sekaligus memenuhi apa yang dikatakan Bapa Suci:” Spes non confundit”.  Harapan tak mengecewakan.

 




Komentar

Postingan populer dari blog ini