ANTARA SALIB DAN ALTAR

Masih dalam keadaan lelah, karena baru pulang misa arwah dari Panglong, telephone tiba-tiba berdering. Panglong itu stasi terjauh dari pusat Paroki Allah Tritunggal. Jarak Tanjung Uban-Panglong kurang lebih 90 km, ditempuh dengan durasi waktu kurang lebih 1,5 jam, bila kaki sang sopir menginjak gas mobil dengan kecepatan rata-rata 80 km per jam. Jalannya memang berliku-liku.

Itulah sebabnya, kurang lebih pkl. 22.00 WIB, saya sudah memasuki kamarku yang berukuran kecil untuk membaringkan diri, karena sepanjang siang tidak istirahat. Lampu sudah kumatikan, namun dua batang lilin kubiarkan menyala sampai mati sendiri. Kebetulan ada novena pribadi yang ingin kujalani.

Kepala baru menyentuh bantal. Tiba-tiba seorang adik dari MBPA mengabarkan bahwa ia dengar salib di Gereja MBPA sudah diturunkan. Ia berencana mau pergi melihat. Namun saya langsung menjawab dalam telephone itu bahwa memang benar, salib sudah diturunkan.

Tak tahan dengan jawaban saya, adik ini memberi handphone kepada rekan di sampingnya. Dari balik handphone itu sebuah suara serak berteriak dengan nada geram bercampur tangis:

“Tembok ratapan bukan hanya ada di Israel. Sekarang ini, tembok ratapan ada di MBPA”, kemudian ia mematikan handphone itu.

Mata yang tadi sudah terlanjur kantuk justru kembali melek. Foto-foto yang di-share Pak Simon di group WA, saya bagikan kepada adik ini untuk memastikan bahwa bukan hanya panti altar yang dibongkar. Salibpun tak diijinkan bergantung di tempatnya itu. Pada hal, sejauh saya dengar dari Mas Joni, kekuatan sling untuk menahan gantungan salib besar dan berat itu bisa mencapai 40 tahun.

Saya teringat salib itu dibuat dari kayu rengas nan gatal. Pohon rengas  ini, karena kandungan gatalnya begitu mengerikan, sehingga tak ada orang yang sanggup memotongnya. Di mana pun pohon ini tumbuh, ia tidak akan dipotong. Hanya RD. Antony Kalvin yang sanggup mendekati kayu ini dan berani memegang getahnya.

Kayu rengas ini, dalam ingatan saya, dipotong di perbukitan wilayah Cakang. Umat KBG St. Maria Bersukacita-Cakang mendedikasihkan diri mereka untuk mendapatkan kayu rengas ini di ketinggian bukit Cakang, dengan segala resiko gatal dan bengkak akibat nanah rengas yang teroles di bahu dan leher mereka. Gerardus Boli, Sebast, Awang, Martinus, Agus, dll adalah korban dari ganasnya kayu ini. Hampir seminggu mereka mengusahakan agar kayu ini sampai di Klasik: mulai dari memotong dan membersihkan, menarik dari bukit sampai ke laut, menonda dengan perahu ke pelabuhan yang aman, mengangkut ke dalam truk dan membawanya ke Klasik. Sangat melelahkan, karena kayunya harus sampai di Klasik dalam keadaan utuh sesuai instruksi RD. Antony Kalvin. Kayu rengas ini dipilih karena tidak akan dimakan rayap maupun jenis binatang lainnya, sehingga pengeroposan atas salib dijamin tidak akan terjadi.

Ketika pembuatan salib mulai diproses, RD. Kalvin bertanya kepada saya:” apa yang ingin engkau maknai dengan salib ini?”  Saya hanya mengatakan kepadanya bahwa ada tiga hal yang menjadi pokok permenungan dalam melihat perjalanan paroki, sejak disiapkan sampai menjadi paroki.

Pertama, kontemplasiku atas ikon MBPA memberikan kepada saya jawaban mengapa Lukas menggambarkan kanak-kanak Yesus begitu takut melihat salib dan tombak, sampai sandalnya hampir terlepas saat ia berada di gendongan bunda-Nya. Rasanya dekapan kuat sang Bunda itu meneguhkannya sejak masih bocah untuk teguh menghadapi salib apapun resikonya, karena pada Putranya itulah, nasib manusia ditentukan. Itulah sebabnya, ketika melihat ibu-Nya di saat hampir menghembuskan nafas terakhir, Yesus menunjuk semua orang yang berada di kaki salib untuk diserahkan kepada ibu-Nya, “Itulah anakmu”,  dan menunjuk ibu-Nya kepada semua orang yang sedang memandang Dia,” Itulah ibumu”. Salib merangkul dan merangkum semua menjadi anak-anak dalam satu Bapa, satu bunda dan satu saudara.  

Kedua, misteri salib adalah misteri penebusan yang menyingkapkan pengampunan Allah yang tak bertepi. Wujud nyata dari penebusan dan pengampunan itu adalah penyerahan Tubuh dan pencurahan Darah Tuhan sendiri. Dan oleh karena itu, salib harus juga memperlihatkan bagaimana Allah dengan tangan terbuka menerima kembali umat-Nya yang berdosa, seberat apapun dosa itu. Salib harus memperlihatkan pribadi Allah yang rahim dan penuh kasih.

Ketiga, Paroki MBPA adalah teritori yang pernah memberi warna kelam di Batam. Perang suku Batak-Flores yang memakan begitu banyak korban di mulai di teritori ini. Dan oleh karena itu, salib harus merupakan representasi jejak sejarah kelam yang harus dibaharui oleh keberadaan KBG-KBG. Dan kehadiran salib dalam Gereja harus menjadi simbol bahwa kendati pernah ada jejak sejarah kelam di tempat ini, namun oleh salib Kristus yang digantung, kita semua sudah ditebus menjadi anak-anak dari satu Bapa dan satu Bunda, dengan satu saudara sulung Yesus Kristus. Siapa pun yang masuk menjadi umat Paroki, ketika menengadah memandang salib, ia harus mengingatkan dirinya sendiri bahwa dalam dan oleh Kristus dan salib-Nya, kita telah dilahirkan menjadi satu saudara dalam satu Bapa dan satu Bunda. Kalau toh ada konflik, peperangan bukan penyelesaian, sebaliknya pengampunan adalah jalan keluar.

Dengan tiga permenungan ini, RD. Antony Kalvin menganjurkan agar salib dibuat sebagaimana adanya sekarang: hanya satu tangan Yesus yang disalib, sementara tangan satunya dibiarkan terlepas untuk merangkul dan merangkum semua Umat MBPA. Anjuran itu saya terima dan diamini oleh almahrum Mgr. Hilarius Moa Nurak, karena selaras dengan pengembangan KBG yang dibangun untuk menjadi rumah keluarga dari anak-anak Maria.

Saya ingat Mas Joni membuat video, dengan mata berkaca-kaca, ketika salib itu ditarik ke atas untuk dipasang di tempatnya. Tiga hari sebelum itu, Mas Joni bertanya kepada saya, “salib mau dipasang di mana?” Saya hanya menjawab bahwa misteri yang disingkapkan di salib, semuanya direalisasikan dalam Ekaristi di altar. Itulah sebabnya salah satu dimensi Ekaristi adalah Kurban Salib.

Mas Joni langsung tangkap. “Kalau begitu salib kita pasang persis di bawah altar agar kesinambungan misteri salib sungguh tampak dan menyatu.” Saya mengangguk tanda setuju.

Itulah sebabnya, siapa saja yang masuk ke Gereja MBPA Batu Aji akan melihat salib yang berbeda, baik bentuk maupun tempatnya. Sebab ia tidak  dibuat sebagai sekedar ada dalam rumah Tuhan, melainkan memberi tanda dan pesan penebusan. Paling kurang siapa saja yang memandang salib di MBPA, ia diingatkan bahwa Allahnya adalah Allah yang Rahim, yang membuka diri menerima umat-Nya, seberdosa apapun umat-Nya itu. Dan atas kekuatan salib yang memperlihatkan sosok Allah itu, umat-Nya pun harus saling menerima, saling merangkul dan merangkum. Perang suku bukan lagi pilihan apapun konflik yang tercipta. Sebaliknya pengampunan dan saling merangkul adalah keutamaan yang wajib dilakukan. Misteri Ekaristi yang mementaskan korban salib harus menuntunnya untuk tidak hanya berkomunio dengan Kristus, melainkan juga berkomunio dengan sesama.

Beberapa tahun kemudian, setelah konsekrasi Gereja MBPA, saya menemukan bentuk salib yang sama, di sebuah rumah ret-ret ketika mengikuti pertemuan AsIPA di Thailand. Saya tersenyum gembira saat memandang salib itu, saat misa  di hari pertama. Kawan saya Abdul Majid dari Pakistan, yang duduk di samping, berbisik kepada saya:” what’s happened? Saya hanya menjawab,” That cross just like in my church”.

Semua misteri itu kini tergerus hawa nafsu. Setelah beberapa hari silam altar dibongkar, kemarin salib besar nan kuat yang dipasang tepat di atas altar Kristus diturunkan, entah akan dipasang di mana, atau mungkin akan dibuang ke mana. Namun dengan membongkar altar dan menurunkan salib (yang tidak sekedar dibuat) itu maka roh Bait Suci MBPA telah tiada.

Apakah itu pertanda matinya komunio dan mulai berseminya konflik antar suku di paroki ini? saya menaruh curiga, jangan-jangan orang-orang yang sama ini yang dulu menjadi pemicu perang suku itu? Entahlah.

Yang jelas kata Yesus, “Celakalah orang yang melakukannya”. Dan perut Yudas terburai oleh tindakannya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini