MENGKAIT: SISA ISRAEL

Entah mengapa, dalam perjalanan pulang dari Anambas  menuju Bintan, wajah Mengkait terus menggoda untuk dilukis di atas kanvas digital, saat mendengar lagu-lagu dangdut di buritan  KM Bukit Raya, ketika laut Natuna Utara menutup pintu signal untuk alat-alat komunikasi. Bersama para imam Basepta, kami mengunjungi umat di pulau yang terletak di sebelah barat Tarempa ini, hari Sabtu silam 12 Oktober 2024, setelah menutup ret-ret dengan ekaristi dan salve besama umat, Jumat 11 Oktober 2024. Warna-warni catatan perjalanan outing Basepta ke Mengkait, Sabtu 12 Oktober 2024, itu yang ingin dikanvaskan di layar digital agar tak hilang ditelan waktu.

Saya tidak tahu apakah Romo Sesar dan Romo Yopi sudah memerkirakan cuaca yang sedang terjadi di Anambas. Yang jelas kondisi laut menuju Mengkait, yang terkenal ganas, sangat-sangat tenang pagi itu. Begitu tenang sehingga Romo Yopi, yang pagi itu menjadi pengemudi speed boat paroki, berani mempercayakan kemudi kepada Romo Simpli, Romo Berto, Romo Handoko, secara bergantian, untuk sekedar uji coba. Saya memang agak was-was apalagi kenangan akan badai puluhan tahun silam, saat rekoleksi romo-romo kevikepan utara di Air Sena, selalu membayang bila  harus ke Tarempa. Syukurlah pagi itu, saat melihat kondisi laut yang tenang, dengan kecepatan speed boat yang diatur Romo Yopi di level standard, membuat batin lebih tenang, apalagi haru minggu sebelumnya sudah merasakan bagaimana Yopi mengemudi speed yang jauh lebih kecil dalam perjalanan ke Air Sena.

Untuk saya secara pribadi, kunjungan ke Mengkait kali ini adalah kunjungan kedua. Kunjungan pertama, sekitar enam tahun silam; ikut dalam rombongan Bapa Uskup dalam kunjungan perdananya, ketika Rm. Agus Tarnanu menjabat Pastor Paroki. Kala itu ruangan kapel masih bergaya stadion, sehingga saat misa, kita bagai duduk di tribun. Namun hari Sabtu silam itu, kami sungguh berada dalam bahtera di puncak bukit. Kapel dan altarnya berbentuk bahtera; dibangun di puncak bukit, membuat pengalaman Petrus dan Andreas atau Yakobus dan Yohanes ketika dipanggil Tuhan, yang dilukis di dinding depan altar sungguh terasa. Apalagi warta injil dan kotbah tentang orientasi hidup kepada Yesus yang dikumandangkan dengan penuh semangat oleh Romo Untung dari mimbar Sabda, membuat gambar dua rasul di dinding altar itu terasa sangat hidup.

Dibandingkan dengan kunjungan uskup enam tahun silam, tidak banyak umat yang menjemput rombongan para imam di hari Sabtu pagi itu. Apakah karena kami segera ke pulau seberang untuk piknik atau karena mereka baru pulang mengais nasib dari laut, sehingga masih istirahat?  Tak diketahui pasti. Yang jelas setelah tiba di dermaga, kami segera transit menuju pulau seberang untuk bersantai ria; pulau yang juga menjadi tempat piknik bersama umat saat kunjungan perdana Bapa Uskup.

Menjelang senja, selepas pulang dari pulau,  wajah-wajah umat mulai kelihatan satu persatu, sehingga bapak Petrus Kalver, yang sedang berbual dengan saya, spontan berujar:

” Romo Yopi menggelari kami Sisa Israel.” Gelar yang dulu hanya saya dengar dalam kuliah kitab suci itu segera menghentak rasa ingin tahu saya:

“Kenapa diberi gelar itu pak?,” Tanya saya lebih lanjut.

“Tidak tahu saya romo”, jawab Klaver pendek. Saya hanya diam sambil menyeruput kopi sore untuk sekedar mengusir kantuk selepas berenang di laut hijau nan jernih, agar bisa ikut sebagai konselebran dalam misa Minggu bersama umat, yang se jam lagi akan dihelat.

Namun dalam obrolan santai bersama koordinator wilayah itu, saya mulai menangkap mengapa ketua Basepta ini menggelari Umat Mengkait sebagai sisa Israel. Saya menduga semangat iman yang hidup, yang tampak dalam partisipasi aktif di semua lini, komunio umat yang terjalin baik, entah intern KBG maupun antar KBG dalam satu wilayah, komunio yang terjahit rapih antar kategori di setiap jenjang: anak, remaja dan kaum muda; ekspresi misi yang tampak dalam semangat gotong royong antar wilayah: Mengkait-Tarempa dan Air Sena-Letung,  yang sejatinya menguras banyak dana dan tenaga; keutamaan hidup devosi dan sacramental; pelestarian ekosistem laut, dll; seakan memastikan dugaan saya, jangan-jangan Romo Yopi memberi gelar sisa Israel, karena mengalami sebuah umat yang hidup, yang partisipatif, komuniter dan missioner”.

Begitulah wajah mengkait. Wajahnya yang sekarang sangat jauh berbeda dengan wajahnya tempo dulu.  Dulu, dari cerita para imam dan katekis senior, Mengkait adalah tempat yang menyebalkan. Mengunjungi Mengkait berarti harus siap mencari toilet di sela-sela batu. Umatnya apatis dalam segala lini, walau diakui bahwa wilayah itu memang mayoritas Katolik. Namun pengalaman kunjungan hari Sabtu silam,  seakan melukiskan sebuah wajah Gereja yang baru.

Malam itu, di sela-sela mendengar sapaan Pastor Paroki, selepas pengumuman hari Minggu, tiba-tiba Romo Berto berbisik kepada saya:” cewek yang baca pengumuman itu adalah alumna SMU St. Yoseph. Sejak masuk sampai tamat ia selalu mendapat ranking satu.”  Romo-romo lain, semisal Rm. Untung, Rm. Handoko, Romo Noven berkisah bahwa pulau, yang dijangkau tiga jam dengan kapal ikan dari Tarempa ini, adalah  pulau Kristen, yang dibagi dua, Katolik dan Protestan. Namun demikian hidup komunio dan gotong royong  terajut dengan sangat baik.  Romo Yopi dan Sesar menimpali bahwa kapel megah di atas bukit adalah hasil kerja keras dan tetes keringat seluruh masyarakat Kristen yang menghuni pulau itu. Syaratnya hanya satu, kata Romo Sesar, speaker harus aktif 24 jam.

Bukan hanya iman. Kesadaran akan profesi nelayan juga meningkat secara tajam, bila dibandingkan dengan umat Paroki St. Carolus Ujung Beting, yang sejatinya memiliki profesi yang sama. Dalam obrolan dengan salah seorang umat, saat tamasya di pulau,  saya terpukau oleh jawaban seorang bapak, ketika saya bertanya mengapa tidak mengolah ikan terri.

“Ribet dan tidak menghasilkan, romo. Ikan itu sumber hidup kami, sehingga kami cari saja ikan yang bila mancing semalam bisa dapat sejuta atau minimal Rp. 800.000.” Jawaban bapak itu kemudian dijelaskan lebih lanjut oleh Romo Martin Da Silva. Sekretaris Uskup ini mengatakan bahwa  nelayan-nelayan di Anambas dan Natuna biasa bergaul dengan nelayan-nelayan dan pengusaha asing, sehingga secara sosiologis membentuk keterbukaan dan kemajuan cara berpikir. Itu yang membedakan mereka dengan umat di Lingga, kata Martin.

Penjelasan demi penjelasan, baik oleh umat dan para imam itu membuat saya insaf mengapa di Mengkait ikan-kan yang tergolong besar bebas bertamasya sampai ke bibir pantai, tanpa takut akan kematian dari para pemangsa. Bagai St. Fransiskus Asisi, ikan-ikan itu seakan dianggap sebagai saudari-saudara sehingga tidak diganggu dan lautnya terpelihara sebagai habitat hidup bersama, satwa dan manusia.

Bukan hanya ekosistem. Mengkait juga adalah pulau penghasil seminaris. Tujuh atau delapan seminaris dari Paroki Stella Maris berasal dari Pulau ini. Walau dalam bincang-bincang banyak umat  mengeluh karena seminaris dari kampung mereka selalu putus di tengah jalan, namun saya tetap memandangnya sebagai sebuah prestasi yang menakjubkan, bila dibandingkan dengan paroki lain. Seperti pohon muda, yang buah-buahnya selalu berjatuhan di tahun-tahun awal, sampai menemukan kematangannya; demikian pula Mengkait. Itulah sebabnya, dalam kata sambutan saya malam itu, saya mengatakan: “Saya sangat yakin dalam usia yang semakin matang menjadi paroki, Mengkait akan menghasilkan buah perdana Imam Diosesan, sekaligus pembuka jalan bagi yang lain untuk mengikuti jalan yang sama.”

Saya sempat tertegun, ketika mendengar sambutan dari wakil umat dalam acara ramah tamah, selepas misa, yang berisikan kerinduan akan misa harian. Namun  dalam hati saya mengucapkan syukur kepada Tuhan dan Bunda Karunia Bakti, karena dua imam muda, Sesar dan Yopi ditempatkan di paroki yang menantang ini. Sebab dengan energy dan skill yang mereka punya, serta keberanian mengemudi sendiri  speed boat di lautan yang tak selalu stabil demi kelancaran pelayanan, mereka terus berjuang menjawabi kerinduan umat sekaligus sama-sama memacu diri untuk terus bertumbuh membentuk jati diri sebagai Gereja yang Partisipatif-Sinodal.

Dalam misa Minggu sore, 13 Oktober 2024, di Tarempa, saat didaulat Pastor Paroki untuk memberi satu dua catatan, saya hanya memberi tiga pantun  sebagai catatan penutup.

Pergi ke kebuh menggunakan sandal

Kebun sayur milik Pak Oyong

Terus membangun Gereja Sinodal

Dalam semangat gotong royong

 

Buang jala menangkap ikan

Ole-ole buat sang teman

Walau sibuk mencari makan

Tetaplah tekun piara iman

 

Jalan Tarempa putih bergaris

Selalu dilintas motor kaisar

Untukmu umat Paroki Stella Maris

Jagalah Romo Yopi dan Romo Sesar.

 

 

Bravo Stella Maris






Komentar

Postingan populer dari blog ini