Saya merevisi
sedikit tulisan saya beberapa hari yang lalu. Walau masih dengan judul yang
sama, namun saya harus merevisi lagi di sana sini agar dipahami saat dibaca. Waktu
itu saya memang menulisnya cepat-cepat, mungkin karena terlalu emosi. Saya sertakan
juga beberapa foto yang dikirim Mas Kosmas, dkk di group agar menyempurnakan
tulisan ini. Terima Kasih.
HATIKU SANGAT
SEDIH
(Mrk. 14: 34)
Tiba-tiba hatiku sangat sedih. Sedih
sebagaimana dialami Yesus di Getsemani, saat Ia tahu bahwa sebentar lagi
Tubuh-Nya akan dihancurkan oleh musuh-musuh-Nya, dengan memanfaatkan Yudas sang
murid yang rakus uang. Kesedihan ini muncul ketika seorang umat Paroki Maria
Bunda Pembantu Abadi (MBPA) mengirimkan foto tentang aktivitas penghancuran
panti altar yang sedang berlangsung di dalam gereja. Saya sangat kaget
mendapatkan foto itu. Dalam hati saya bertanya:” ada apa gerangan sehingga umat
berani menghancurkan altar nan megah, tempat Tuhan mempersembahkan diri-Nya
untuk umat-Nya?
Setelah lama memandang foto, seraya
membayangkan kisah-kisah tempo dulu saat altar itu dibangun, hatiku semakin karena
rupanya di bawah foto itu tertulis pertanyaan:
“Apakah
altar yang menjadi pusat konsekrasi sebuah Gereja bisa dihancurkan?” Saya tak
berani menjawab, walau saya tahu adik yang mengirim foto ini sangat rindu
mendapatkan jawaban.
Sebetulnya sebuah panti altar, tempat
Kristus menghadirkan karya penyelamatan-Nya, bisa saja direnovasi. Namun hal
itu butuh kajian yang mendalam. Ia harus dianggap sungguh rusak total sehingga
tak bisa lagi merepresentasikan misteri keselamatan Kristus. Itupun kalau
disetujui uskup. Di Tanjung Uban, misalnya, untuk menaikkan status kapel
Yohanes Bosco menjadi Gereja Paroki, sehingga butuh renovasi total, kami misa
bersama dan membuat ritual untuk memindahkan umat ke kapel Fransiskus Xaverius,
sehingga kapel itu bisa direnovasi. Itu di Tanjung Uban. Tetapi panti altar
yang ada di Gereja MBPA justru masih sangat-sangat anggun, kokoh dan sangat
berkualitas. Tak lekang dan takkan lapuk. Dan oleh karena itu, alasan apapun
tak bisa digunakan untuk menghancurkan, kecuali niat busuk dari para perencana.
Saya ingat bagaimana peliknya
rancangan atas altar itu, karena refleksi atas altar itulah yang menjadi
penentu seluruh bangunan fisik lainnya. Di panti altar itulah batu sendi
diletakkan oleh Yang Mulia almharum Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD pada hari Raya
Pentekosta, didampingi oleh saya sebagai Pastor Paroki dan Diakon Paschalis Saturnus. Di atas batu sendi itulah,
altar Kristus didirikan, karena memang Kristuslah Batu Sendi; Kristus pulalah
Penyelamat-Nya.
Bukan hanya Kristus. Di panti altar
Gereja MBPA itu juga mengalir darah tiga
martir muslim. Dari tempat plafon yang menjadi titik simpul sling gantungan
Salib Yesus, mereka jatuh berguguran. Dan oleh karena itu, setiap kali
merayakan misteri keselamatan di Gereja MBPA,
sejatinya kita mengalami Darah Yesus yang mengalir setiap hari dari
altar untuk menebus umat, tetapi juga mengenang darah tiga martir muslim yang
membekas di situ, sebagai memoria bahwa mereka pun bersatu dengan seluruh
penderitaan umat yang kala itu mengurbankan hidupnya demi pembangunan Bait Suci
Tuhan.
Memang zaman itu, dua puluh tahun
silam, ketika umat MBPA melangkah dari titik nol sebagai Paroki, semua umat
berkurban, tanam pantat tikam kepala. Mereka mempersembahkan apa yang mereka
miliki, entah itu doa maupun derma. Saya ingat animasi yang dilakukan mas Joni
kala itu:
“ Kalau tak punya uang untuk
dimasukkan ke kotak 1000, masukkanlah doa anda. Anda harus menggantikannya
dengan doa. Doa, derma, kurban dan kesaksian, yang menjadi spirit serikat anak
missioner menjadi spirit kita”.
Semua itu dilakukan, karena umat menginginkan
bahwa Bait Allah yang dibangun itu menggambarkan spiritualitas mereka,
spiritualitas Janda Miskin; spiritualitas Anak jalanan.
Demi menghadirkan sebuah Bait Suci
yang merupakan potret diri Tuhan dan umat-Nya itu, sahabat saya Julius Joni
dengan teamnya para animator bekerja siang malam, keluar masuk KBG-KBG memberi
spirit kepada umat, menganimasi mereka tentang kotak derma, yang saat itu lebih
dikenal dengan Kartu Persembahan Keluarga (KPK). Setiap Minggu ke-4, kami
bersama seluruh Ketua KBG harus duduk berjam-jam dari pkl. 10.00 sampai pikl.
15.00 hanya untuk berefleksi bagaimana membangun fisik Gereja yang merupakan
potret komunio umat yang hidup. Dari refleksi demi refleksi, yang dalam catatan
saya dibuat ratusan kali itu, sebuah potret Gereja digambar oleh Ir. Johan,
seorang Legioner handal. Bahkan dari gambar fisik bangunan Gereja itu pula, ia
mendapat piagam sebagai arsitek terbaik, karena ia tidak sekedar membangun
gedung melainkan Gereja. Dimensi teologis menjadi dasar bagunan fisik
sebagaimana yang tampak dan digunakan dalam 10 tahun ini.
Saya teringat suatu sore, ketika
almahrum Mgr. Hila ada di Klasik, Mas Joni dan team mempresentasikan rancangan
Gereja MBPA dengan refleksi teologis yang melatarinya. Beliau setuju. Namun ia
menekankan bahwa umat ke Gereja untuk membangun komunio satu dengan yang lain
sebagai Tubuh Kristus, sebetulnya hanya untuk dua intensi: mendengarkan Yesus
dan mencicipi karya penebusan, yang Ia nyatakan dalam pengurbanan Tubuh dan
Darah-Nya. Oleh karena itu panti altar harus menghadirkan Gunung Sabda Bahagia
dan Gunung Kalvari. Sebagaimana orang
banyak dalam injil, seperti itulah umat datang mengikuti misteri keselamatan.
Mereka harus bergerak dari Gunung Bahagia ke Gunung Kalvari.
Bukan hanya itu. Gereja MBPA juga
harus merepresentasikan sebuah altar yang berukuran besar dan panjang, sebab altar
juga merupakan representasi komunio imamat Kristus. Tidak boleh ada imam yang
duduk di panti umat saat ada perayaan besar yang menghadirkan banyak imam. Imam
harus di panti altar, dan saat liturgy Ekaristi, imam harus mengelilingi meja
altar. Begitulah amanat beliau sore itu.
Dari amanat inilah proses pengerjaan
dimulai. Panti altar dibuat kokoh, tinggi dan luas. Dan memang setiap kali umat
berkumpul di Gereja MBPA, mereka bagai umat injili yang memandang ke atas, ke
gunung bahagia untuk mendengarkan Yesus. Dan Imam yang menghadirkan Yesus Imam
Agung, turun dari tempat duduknya menuju ke tempat datar untuk memaklumkan
Sabda dan Mengajar umatnya, dalam homili. Dari gunung Bahagia itu, umat
kemudian memusatkan hati, budi, jiwa dan raganya ke gunung Kalvari, berdiri di kaki salib untuk menyaksikan,
mengalami dan mencicipi pengorbanan Tubuh dan Darah Tuhan.
Pengalaman itu dialami di MBPA. Bukan
hanya hubungan umat dengan Tuhannya. Beberapa kali perayaan yang menghadirkan
banyak imam, saya menyaksikan tak satu pun imam yang duduk di bangku umat,
melainkan membangun komunio imamat di panti altar. Komunio presbiterium sungguh
tercipta dan dialami. Namun hari ini semuanya seakan ikut hancur. Gunung
Bahagia dan Gunung Kalvari seakan diganti dengan lembah Kidron.
Saya jadi teringat cerita mama Ebiet
sebelum saya mutasi ke Pangkalpinang. Ketika itu, selepas misa perpisahan
bersama para fasilitator, beliau bercerita tentang mimpinya.
“Romo..saya mimpi altar Gereja MBPA
terbalik semua, tiang-tiang pada runtuh”.
Saat itu saya hanya senyum karena
berpikir mungkin pengaruh psikologis yang terbawa di alam bawah sadar. Namun
dalam perjalanan waktu, saya merasa mimpi itu mulai tampak jelas tahap demi
tahap. Saat saya di Katedral, beberapa kali orang mempertanyakan nama Paroki
dan bentuk salib. Kemudian mulai berkembang ke usaha-usaha pastoral instruktif
menggantikan pastoral pemberdayaan yang diamanatkan Uskup Asia. AsIPA
ditiadakan. Fasilitator menjadi bulan-bulanan para imam. Para imam pun merasa
seakan anggur kesenangan yang mereka reguk sekarang adalah hasil mujisat yang mereka
lakukan semalam. Kecemasan misiolog Asia, DR. John Prior, SVD mulai terjadi.
KBG bukan lagi dibangun sebagai basis-basis Gereja, tetapi sekedar untuk
membentuk kaki tangan imam agar keinginan imam bisa terwujud di tengah umat.
Pertemuan-pertemuan rutin dengan
ketua-ketua KBG sebagai media komunikasi serta ekspresi kepemimpinan kolegial, tak
lagi terjadi. Yang terjadi adalah pertemuan gelap-gelapan. Suara umat tersumbat, sehingga saya sering harus
menjadi kotak sampah. Ada pertemuan fasilitator tetapi bukan dijiwai semangat
pemberdayaan, melainkan sekedar ajang
sosialisasi. Lucunya lagi AsIPA dicibir, tetapi fasilitator dibutuhkan. Mereka
yang tak punya gambaran pemahaman tentang Gereja Partisipatif justru dijadikan
sandaran, sehingga yang tercipta bukan proses partisipatif tetapi proses
instruktif.
Setelah proses pembungkaman suara umat
dirasa sukses, tragedy lain mulai terjadi. Keuangan paroki saya dengar bermasalah.
Umat mempersoalkan tetapi bagai singa yang sudah ompong; tak lagi berpengaruh. Di
atas budeg, di bawah ompong.
Paroki yang dibangun dengan pastoral
konsientisasi yang mengandalkan kekuatan umat, dengan imam sebagai pemberdaya
utama, dengan maksud agar potret Gereja sebagai Tubuh Mistik yang hidup antara
kepala dan anggota, tak sekedar teori melainkan merupakan fakta kehidupan dalam
pengalaman ber-Gereja, mulai berbalik arah. Imam dikampanyekan sebagai tokoh
utama, umat dibuat tak berdaya. Ujungnya saya dengar AsIPA diisukan tak lagi
dipakai; entah oleh siapa, umat dibuat mati. MBPA yang dalam ziarah telah berada
di level ke tujuh dalam Gereja Partisipatif ingin dikembalikan ke level satu.
Setelah semua lini ini dihancurkan,
hari ini sasaran dituju ke sentral; ke altar yang adalah pusat korban Kristus.
Sungguh menyedihkan. Menyedihkan karena kata-kata Mazmur 126:” Yang menabur dengan bercucuran air mata akan
menuai dengan bersorak sorai”, yang dulu menjadi spirit komunio dalam
membangun paroki, seakan diganti dengan Mazmur 80:6 ” Mereka makan roti cucuran air mata, mereka minum air mata
berlimpah-limpah”.
Pengalaman pahit yang dihadapi umat
secara beruntun ini, membuat saya bertanya dalam hati saya sebagai gembala awal
yang mengantar perziarahan umat paroki MBPA:” apa yang salah dari amanat para
Uskup Asia dan Ecclesiologi Tubuh Mistik, yang menjadi referensi utama dalam
menggembalakan umat di saat-saat awal? Sebab pengalaman yang saya dapat di MBPA
kala itu, yang turut menguatkan imamat saya, adalah bahwa umat yang dengan senyum ceria mengikuti
pemberdayaan demi pemberdayaan, bukan karena mereka santai saja di rumah,
melainkan justru setelah mereka pulang dari kelelahan untuk berjuang mengais
nasib di perusahaan-perusahaan. Ternyata kelelahan di perusahaan terobati
dengan vitamin pemberdayaan yang dilakukan Gereja. Di PT mereka bersaing tetapi
di ASIPA mereka membentuk diri berkomunio, saling berbagai dan saling
menyempurnakan.
Semangat tak kenal lelah itu jugalah
yang membuat saya pun hampir tak pernah tidur, terus berefleksi dan membuat
modul demi modul, melatih dan melatih, agar Gereja Partisipatif Sinodal yang
juga diharapkan oleh Paus Fransiskus saat ini, bisa menjadi kenyataan dalam
hidup meng-Gereja.
Geliat mematikan bangunan yang hidup
dan menghancurkan bagunan fisik, yang terpotret dalam proses ziarah Paroki
MBPA, membuat saya akhirnya menaruh curiga, jangan-jangan di MBPA ada
Yudas-Yudas yang kerjanya berkolaborasi dengan mereka yang beruang, untuk terus
mengintip, menyakiti, dan terus menyiksa sampai mati Tubuh Mistik Kristus,
yakni Gereja-Umat MBPA itu? Kecurigaan itu semakin menjadi-jadi, karena dalam
beberapa tahun ini sejatinya para fasilitator berteriak dan terus berteriak,
entah melalui dialog maupun surat,
tentang perilaku penyelewengan yang membuat umat semakin menderita
menuju mati, namun teriakan itu dianggap angin lalu dan tak berguna. Seperti
pengalaman Yesus yang berteriak dari atas salib mencari Bapa-Nya, namun
Bapa-Nya memilih diam, pengalaman yang sama dialmi oleh umat dalam ziarah umat
MBPA. “Eloi-eloi lama sabathani, seakan
hanya dentuman suara bising di tengah badai bukit tengkorak.
Saya akhirnya memahami dan ikut
merasakan mengapa para fasilitator MBPA memilih diam, walau baru-baru ini Mas
Julius Joni berjuang memompa lagi roh keberanian kepada teman-temannya para
fasilitator di sana, demi menyelamatkan Gereja MBPA. Saya menduga mungkin pita
suara mereka sudah habis terkikis; jiwa mereka sudah hancur; dan hati mereka
sudah berada di titik nadir Gereja apatis.
Saya
hanya bisa mendengar lagu Eli-Eli Lama
Sabathani, yang dulu saya buat di Tembesi, sambil membayangkan Tubuh Mistik
Yesus dipangku oleh Bunda-Nya di perhentian ke-13, seraya memohon:”Tolong kami Bunda penuh kasih sayang; ingat
kami Bunda penuh kerahiman”.
Komentar
Posting Komentar