HATIKU SANGAT
SEDIH
(Mrk. 14: 34)
Tiba-tiba hatiku sangat sedih,
mengalami kesedihan Yesus karena Ia tahu sesaat lagi Tubuh-Nya akan dihancurkan
oleh musuh-musuh-Nya, dengan memanfaatkan Yudas sang murid yang rakus uang.
Kesedihan ini muncul ketika seorang umat Paroki Maria Bunda Pembantu Abadi (MBPA)
mengirimkan foto tentang aktivitas penghancuran panti altar yang sedang
berlangsung di dalam gereja.
Semakin sedih, karena foto itu
dikirim, dengan sebuah pertanyaan: apakah altar yang menjadi pusat konsekrasi
sebuah Gereja bisa dihancurkan? Saya tak berani menjawab. Sebab sebetulnya bisa
saja bila kondisi panti dan altar sudah rusak parah dan tak bisa lagi menghadirkan
misteri korban salib, sehingga harus direnovasi. Tetapi panti altar yang ada di
Gereja MBPA justru masih sangat-sangat anggun, kokoh dan sangat berkualitas. Alasan
apapun tak bisa digunakan sebagai dasar untuk menghancurkan, selain niat busuk
dari para perencana.
Saya ingat bagaimana peliknya
rancangan atas altar itu, karena refleksi atas altar itulah yang menjadi
penentu seluruh bangunan fisik lainnya. Di panti altar itulah batu sendi
diletakkan oleh Yang Mulia almharum Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD pada hari Raya
Pentekosta, didampingi oleh saya sebagai Pastor Paroki dan Diako Paschalis Saturnus. Di atas batu sendi itulah,
altar ditahktakan, karena memang Kristuslah Batu Sendi. Namun di panti yang
sama itu pula mengalir darah tiga martir muslim. Darah Yesus mengalir tiap hari
dari altar untuk menebus umat; sementara darah tiga martir itu tetap membekas
di situ, sebagai memoria bahwa mereka pun bersatu dengan seluruh penderitaan
umat yang kala itu mengurbankan hidupnya. Zaman itu, dua puluhan tahun silam, semua
umat berkurban, tanam pantat tikam kepala, untuk mempersembahkan apa yang
mereka miliki, entah itu doa maupun derma. Itu mereka lakukan, karena mereka
menginginkan bahwa Bait Allah yang dibangun itu menggambarkan spiritualitas
mereka, spiritualitas Janda Miskin.
Demi menghadirkan sebuah Bait Suci
yang merupakan potret diri Tuhan dan umat-Nya itu, sahabat saya Julius Joni
dengan teamnya para animator bekerja siang malam, keluar masuk KBG-KBG memberi
spirit kepada umat, menganimasi mereka tentang kotak derma, yang saat itu lebnih
dikenal dengan Kartyu Persembahan Keluarga (KPK). Setiap Minggu ke-4, kami bersama
seluruh Ketua KBG harus duduk berjam-jam dari pkl. 10.00 sampai pikl. 15.00 hanya
untuk berefleksi bagaimana membangun fisik Gereja yang merupakan potret komunio
umat yang hidup. dari refleksi demi refleksi, yang dalam catatan saya sudah
ratusan kali, sebuah potret Gereja digambar oleh Ir. Johan, seorang Legioner
handal.
Saya teringat suatu sore, ketika
almahrum Mgr. Hila ada di Klasik, Mas Joni dan team mempresentasikan rancangan
Gereja MBPA dengan refleksi teologis yang melatarinya. Beliau setuju, dengan
penekanan bahwa umat ke Gereja untuk membangun komunio satu dengan yang lain
sebagai Tubuh Kristus, sebetulnya hanya untuk dua intensi: mendengarkan Yesus
dan mencicipi karya penebusan, yang Ia nyatakan dalam pengurbanan Tubuh dan Darah-Nya.
Oleh karena itu panti altar harus menghadirkan Gunung Sabda Bahagia dan Gunung
Kalvari. Sebagaimana orang banyak dalam
injil, seperti itulah umat datang mengikuti misteri keselamatan. Mereka harus
bergerak dari Gunung Bahagia ke Gunung Kalvari.
Bukan hanya itu. Gereja MBPA juga
harus merepresentasikan sebuah altar yang berukuran besar dan panjang, sebab altar
juga merupakan representasi komunio imamat Kristus. Tidak boleh ada imam yang
duduk di panti umat saat ada perayaan besar yang menghadirkan banyak imam. Imam
harus di panti altar, dan saat liturgy Ekaristi, imam harus mengelilingi meja altar.
Begitulah amanat beliau sore itu.
Dari amanat inilah proses pengerajaan
dimulai. Panti altar dibuat kokoh, tinggi dan luas. Dan memang setiap kali umat
berkumpul di Gereja MBPA, mereka bagai umat injili yang memandang ke atas, ke
gunung bahagia untuk mendengarkan Yesus, dan dari situ ke gunung Kalvari berdiri
di kaki salib untuk menyaksikan, mengalami dan mencicipi pengorbanan Tubuh dan
Darah-Nya. Bahkan beberapa kali perayaan
yang menghadirkan banyak imam, saya menyaksikan tak satu pun imam yang duduk di
bangku umat, melainkan membangun komunio imamat di panti altar.
Namun hari ini semuanya seakan ikut
hancur. Saya jadi teringat cerita mama Ebiet sebelum saya mutasi ke
Pangkalpinang. Ketika itu, selepas misa perpisahan bersama para fasilitator,
beliau bercerita tentang mimpinya.
“Romo..saya mimpi altar Gereja MBPA
terbalik semua, tiang-tiang pada runtuh”.
Saat itu saya hanya senyum karena
berpikir mungkin pengaruh psikologis yang terbawa di alam bawah sadar. Namun dalam
perjalanan waktu, saya merasa mimpi itu mulai tampak jelas tahap demi tahap. Saat
saya di Katedral, beberapa kali orang mempertanyakan nama Paroki dan bentuk salib.
Kemudian mulai berkembang ke usaha-usaha pastoral instruktif menggantikan
pastoral pemberdayaan yang diamanatkan Uskup Asia. Kecemasan misiolog Asia, DR.
John Prior, SVD mulai terjadi. KBG bukan lagi dibangun sebagai basis-basis
Gereja, tetapi sekedar untuk membentuk kaki tangan imam agar keinginan imam
bisa terwujud di tengah umat. Pertemuan rutin sebagai media komunikasi tak lagi
terjadi. Suara umat tersumbat dan saya harus menjadi kotak sampah. Setelah upaya
pembungkaman suara umat itu, tragedy lain mulai terjadi. Keuangan paroki saya
dengar hancur. Paroki yang dibangun dengan pastoral konsientisasi yang
mengandalkan kekuatan umat dan imam sebagai pemberdaya utama, agar potret
Gereja sebagai Tubuh Mistik yang hidup antara kepala dan anggota, mulai berbalik
arah. Imam tokoh utama umat dibuat tak berdaya. Ujungnya saya dengar AsIPA
dibuat mati, yang berarti umat memang mau dibuat mati.
Setelah semua lini ini dihancurkan, hari
ini sasaran dituju ke sentral; ke altar yang adalah. Sungguh menyedihkan.
Menyedihkan karena kata-kata Mazmur 126:” Yang
menabur dengan bercucuran air mata akan menuai dengan bersorak sorai”, yang
dulu menjadi spirit komunio dalam membangun paroki, seakan diganti dengan
Mazmur 80:6 ” Mereka makan roti cucuran air
mata, mereka minum air mata berlimpah-limpah”.
Pengalaman pahit yang dihadapi umat
secara beruntun ini, membuat saya bertanya dalam hati saya sebagai gembala awal
yang mengantar perziarahan umat paroki MBPA:” apa yang salah dari amanat para
Uskup Asia dan Ecclesiologi Tubuh Mistik, yang menjadi referensi utama dalam
menggembalakan umat di saat-saat awal? Sebab pengalaman yang saya dapat di MBPA
kala itu, yang turut menguatkan imamat saya, adalah bahwa umat yang dengan senyum ceria mengikuti
pemberdayaan demi pemberdayaan, bukan karena mereka santai saja di rumah,
melainkan justru setelah mereka pulang dari kelelahan untuk berjuang mengais
nasib di perusahaan-perusahaan.
Semangat mereka itu jugalah yang
membuat saya pun hampir tak pernah tidur, terus berefleksi dan membuat modul
demi modul, melatih dan melatih, agar Gereja Partisipatif Sinodal yang juga
diharapkan oleh Paus Fransiskus, bisa menjadi kenyataan dalam hidup meng-Gereja.
Geliat mematikan bangunan yang hidup
dan menghancurkan bagunan fisik, membuat saya akhirnya menaruh curiga,
jangan-jangan di MBPA ada Yudas-Yudas yang kerjanya berkolaborasi dengan mereka
yang beruang, untuk terus mengintip, menyakiti, dan terus menyiksa sampai mati
Tubuh Mistik Kristus itu. Apalagi sang bapa juga tak mau mendengar teriakan anak-anaknya
“eloi-eloi lama sabathani?”
Saya
hanya bisa mendengar lagu Eli-Eli Lama Sabathani, yang dulu saya buat di
Tembesi, sambil membayangkan Tubuh Mistik Yesus dipangku oleh Bunda-Nya di perhentian
ke-13, seraya memohon:”Tolong kami Bunda penuh kasih sayang; ingat kami Bunda
penuh kerahiman.
MV
Komentar
Posting Komentar