Dari Pokok Nangka

Menuju Rumah Rakyat

(Kisah Sukses Jamson Orang Sagulung)

Aku mengenalnya 20-an tahun silam, seiring perjalanan waktuku di Batam. Lumayan lama. Berbeda dengan si pendek Zakeus yang dilihat Yesus di atas pohon  Ara, sosok ini justru selalu kulihat berada di bawah rimbunan pokok-pokok nangka, bersama sekelompok bapa-bapa, setiap kali selesai misa di kapel Fransiskus-Kaveling Baru, tahun 2002. Ada semacam ritus post ibadat yang ia lakoni selepas ibadat Hari Minggu, yakni selalu mengundang siapa saja untuk sekedar ngopi bareng, sambil bercerita ringan atau sekedar menciptakan suasana tawa ria melepaskan kepenatan setelah bersukacita bersama Tuhan dalam ibadat; terkadang pula membahas hal-hal yang lebih serius menyangkut nasib orang banyak. Begitulah kebiasaan yang sudah tertanam lumayan lama dalam dirinya, baik saat masih di kapel Fransiskus Kaveling Baru maupun ketika berpindah ke Gereja Paroki Maria Bunda Pembantu Abadi. Dia adalah Jamson Silaban.

Keutamaan memperhatikan sesama yang terus kulihat di bawah pokok nangka itu, semakin tersingkap dalam perjalanan waktu, ketika kami saling mengenal satu sama lain secara lebih mendalam. Ternyata apa yang ia buat kepada sesama merupakan buah dari apa yang ia tanam dan bertumbuh dalam keluarga. Perhatian dan persekutuan cinta yang terbangun dalam keluarga bersama sang istri dan anak-anak: Ibu Yusniar, Vrisca, Francis, Brigita dan Feliks, bagai seminari - taman persemaian - untuk menebarkan kasih kepada sesama. Tak heran di kalangan umat dan masyarakat sekitar, bahkan sampai ke keluarga-keluarga di Cakang, Jamson dan ibu Yusniar dikenal sebagai sosok pasutri dermawan. Begitu dermawan, sehingga saat Paroki MBPA masih morat-marit dalam bagian finansial, keluarganya, juga keluarga Mas Joni, Keluarga Mama Yossi, Keluarga  Aloisius Tio, Keluarga Pacelis Sawu dan keluarga-keluarga Palue di Tanjung Uncang, secara rutin memperhatikan dapur pastoran yang berlokasi di perum Griya Permata-Batu Aji.

Kasih kepada sesama, yang dimulai dari pohon keluarga itu yang membuat dia bersama sang istri tercinta direkomendasikan untuk masuk dalam team Seksi Keluarga Paroki MBPA sejak awal berdiri. Benih kasih yang tertanam dalam keluarga, ditopang vitamin AsIPA dalam pengembangan Gereja Partisipatif Sinodal, membuat perutusan Jamson dan Yusniar, bersama team keluarga kala itu, yang dikomandani oleh pasutri Elias Kobe, sangat menakjubkan. Menakjubkan, karena walau kondisi Batam sangat menekan untuk selalu berjuang mengais nasib, namun oleh sentuhan misi team keluarga Paroki, ribuan keluarga yang masa-masa itu masih berusia muda tak pernah menganggap remeh dengan rekoleksi keluarga dalam rangka menyambut Pesta Keluarga Kudus sekaligus Pembaharuan Janji Perkawinan; sebab program ini ternyata sangat diminati oleh para pasutri. Bahkan membaca hasil evaluasi yang ditulis secara jujur setiap tahun sehabis rekoleksi, para pasutri mengakui bahwa program rutin, dengan nara sumber RP. Jack Buran, SSCC, itu sangat menolong mereka dalam berjuang membangun keluarga kristiani di era industri.

Begitulah Jamson Silaban.  Profesinya adalah kontaktor sehingga  dari hari ke hari selalu berurusan dengan berbagai proyek, tetapi dalam urusan-urusan itu, ia serentak mendengar keluhan dan omelan serta permintaan dari pelanggan yang ia layani. Kendati demikian, ia menghadapi persoalan-persoalan itu dengan perisai iman, berikatpinggangkan kebenaran, berbajuzirahkan keadilan, sebagaimana pesan St. Paulus pada pembukaan Bulan Kitab Suci Nasional, pekan silam. Tidak heran sering saya jumpai Jamson duduk bersama tukang-tukang ojek di pinggir jalan sekedar merokok bareng atau berdiskusi ringan. Perhatian dan kasih dengan mereka yang terpinggir dan dipinggirkan itu membuat ia tahu banyak hal di lapangan, yang mungkin tak diketahui oleh mereka yang hanya berada di belakang meja, maupun oleh mereka yang hanya berkawan dengan kalangan atas.

Sosoknya yang low profile, sehingga mudah dijangkau oleh semua orang, membuat ia dimasukkan sebagai salah satu anggota team sukses Pak Herman Simbolon dalam pileg 2019-2024, dengan maksud agar oleh pengalaman lapangannya, refleksi sinodal Paroki MBPA, 2011, tentang adanya legislator yang direkomendasikan Gereja Paroki, sebagai output misi ad extra dalam bidang politik, bisa mewujudnyata. Ternyata upaya sinodal ini gagal total; sebab dalam pelaksanaan di lapang ditemukan banyak sekali kendala yang dijumpai baik dalam pengorganisasian internal dan eksternal, maupun dari segi praksis penghayatan visi Gereja dengan persoalan tekhnis yang remeh temeh.

Sayang bahwa kegagalan pileg pertama itu tak terevaluasi dengan baik, bahkan terkesan diabaikan begitu saja, sehingga animo sinodal umat, yang di tahun 2011 begitu menggebu-gebu, mulai terkikis secara perlahan. Terkikisnya begitu memprihatinkan  sehingga timbul antipati terhadap sosok tertentu dan visi sinodal dan ingin kembali ke pola-pola politik lama, yang istilah kerennya “Tak ada makan siang grtais”. Fenomena itu memaksa saya, yang di tahun 2011, di Pusat Pastoral Dominikus Kaveling Lama, mendengar secara langsung entusiame umat akan adanya misoionaris politik; untuk segera mengadakan pendekatan baru dengan sosok-sosok baru, agar entusiasme atas visi Gereja Partisipatif tetap menggema dan terus diperjuangkan agar suatu saat mewujud-nyata.

Itulah sebabnya selepas pertandingan demokrasi 2019, dengan hasil nihil, keinginan untuk tidur nyenyak menikmati hasil harus ditunda. Formasi baru harus dibentuk. Animo umat yang sudah mulai menurun; membuat strategi calon tunggal dengan mempertimbang-kan kuota suara, tidak bisa lagi diandalkan.  Siapa yang berpotensi harus diusung, dan semua lini harus bekerja keras.

Di tengah krisis identitas sebagai Gereja Sinodal, yang outputnya adalah menurunnya animo dalam pileg, Jamson direkokmendasikan untuk maju. Bagai Yohanes Pembaptis, ia muncul tepat pada waktunya, di tengah krisis padang gurun akan identitas Gereja Partisipatif Sinodal. Namanya yang santer disebut di kalangan umat, membuat diam-diam, saya bersama Vrits, Nia dan Sarma berkunjung untuk sekedar salam natal sekitar 3 tahun silam, dengan agenda tersembunyi mengonfirmasi isu santer itu. Mama Vrisca, istri tercintanya serius menolak, apalagi merujuk pada pengalamannya sebagai anggota team sukses untuk calon sebelumnya. Kunjungan pertama yang tak berhasil ternyata tidak memadamkan api misi. Selang beberapa bulan, kunjungan kedua dilakukan. Berbagai argumentasi dibuat, namun implementasi visi Gereja Sinodal, yang sama-sama dirumuskan dalam sinode Paroki MBPA untuk dibawa ke tingkat Keuskupan, dalam Sinode II tahun 2010, meluluhkan hati ibu, yang selalu dipanggil Ma Vrisca ini.

Bagai ibu yang oleh keterbukaan pintu rahimnya, lahirlah kehidupan, demikian juga keterbukaan hati Ma Vrisca adalah awal kehidupan kembali visi Gereja Sinodal yang hampir terkubur oleh inkonsistensi pastoral. Kerelaan Mama Virsca melepaskan suaminya maju menjadi caleg, merangsang adrenalin untuk mulai mengatur lagi startegi.  Beberapa kali pertemuan dilakukan antara pak Herman dan Pak Jamson; terkadang  bersama mas Kosmas dan bang Atan; terkadang hanya bertiga, demi membangun sinergitas, sekaligus mendorong agar “ turun ke bawah dan sosialisasi” menjadi agenda yang harus dilakukan secara konsisten. Saya sendiri terus melobi pihak DPD dan PAC agar terus mendukung, karena mereka adalah kader Gereja terbaik yang bisa ikut memulihkan citra PDIP. Dan ternyata Pak Jefri di PAC maupun Romo Dr. Soerya Respationo, SH.MH sangat welcoming dengan Pak Jamson, sehingga semua kekuatan dipusatkan untuk meyakinkan massa bahwa memilih Pak Jamson adalah memilih masa depan.  

Proses turun ke bawah dengan kekuatan penuh ternyata semakin membuka mata. Pak Jamson yang reputasinya tak diragukan, kerkayatannya yang mengakar, serta perhatiannya terhadap kaum papa yang menakjubkan, ternyata belum mendapat posisi aman. Berbagai isu terus dihembus ke tengah khalayak supaya bisa menggoyahkan dan melepaskan pilihan. Untunglah team sukses “JOS” (Jamson Orang Sagulung) yang dibentuk terus bekerja keras. Dengan bank data pemilih yang dimiliki, serta spirit turun ke bawah untuk mengkonformasi data pemilih, membuat asumsi keperpilihan sudah bisa diprediksi sebelum hari pencopblosan. Dan betul. Kapasitas personal Jamson, serta kerja keras team lintas batas, akhirnya membuahkan hasil yang menakjubkan. Jamson terpilih sebagai  legistor Dapil Sagulung, yang sering dijuluki dapil neraka, dengan perolehan suara terbanyak. Saya memang tak bisa memantau pergulatan Pak Herman Simbolon. Namun saya mengandaikan bahwa dengan bekal kegagalan dalam periode pileg sebelumnya, serta input-input Pak Jamson dalam pertemuan-pertemuan yang dilakukan dalam perode sebelumnya maupun dalam persiapan awal memasuki pileg  2024, Herman tahu apa yang harus ia buat dan apa yang harus ia hindari.

Sabtu siang, 31 Agustus, 2024, Pak Jamson mengudang untuk ikut perayaan syukur atas pelantikan  di Gereja MBPA. Hari Minggu, Ma Vrisca juga mengudang dengan intensi yang sama. Entah mengapa, saya terharu sekalgus sangat bersukacita atas undangan itu dan segera memberi jawaban,” saya pasti hadir”.  Saya terharu karena sebagai orang yang tahu proses sinodal umat MBPA, seharusnya Paroki MBPA yang mengundang untuk perayaan syukur. Sebab perjalanan Jamson menuju gedung rakyat bukan inisiatifnya dan istri melainkan karena rekomendasi sinodal Gereja Paroki. Demi memenuhi misi Gereja ke tengah dunia yang diimpikan Gereja, Jamson diutus, kendati perutusannya bagai perutusan doimba ke tengah serigala; bagai perutusan sebatang lilin ke tengah kegelapan; bagai sebutir garam ke tengah telaga. Namun di balik rasa haru, ada sukacita yang menggelorakan jiwa karena pelantikan pak Jamson adalah bukti nyata bahwa bila Gereja kembali ke identitasnya sebagai communio ad missio maka Gereja tak kesulitan untuk mengutus para misionaris terbaik untuk misi ad extra. Bila Gereja tidak sekedar melemparkan kaum awam ke tengah semak belukar politik dan memaksa mereka  berjuang sendiri-sendiri, Gereja sulit untuk mengimplementasikan identitasnya sebagai garam dan terang bagi dunia.

Dan syukuran atas pelantikan Pak Jamson Silaban, Senin 2 September 2024 menjadi bukti nyata atas kerinduan umat itu. Umat lintas batas tumpah ruah dalam acara ramah tamah yang diadakan di samping Gereja MBPA.  Wajah-wajah ceriah dilampiaskan dalam aneka tarian, seakan melepaskan segala kepenatan seusai berjuang mengantar Jamson ke rumah rakyat untuk mewakili ribuan rakyat, menyuarakan segala harapan dan dambaan mereka. Tak heran, dalam aneka sambutan peneguhan malam itu, hampir semua pembicara mengharapkan agar Jamson tetap humble, humoris dan mengayomi.

Mas Rubianto, dalam komentarnya atas sambutan-sambutan itu, seakan menyingkapkan menyingkapkan sosok Jamson yang apa adanya. ” Dalam keseharian sebelum caleg pun Pak Jamson adalah sosok yang humble, humoris”. Dan memang seperti itulah jamson Silaban. Ribuan suara yang mengantarnya ke rumah rakyat, bukan sekedar hasil kampanye saat pemilu, melainkan hasil kehidupannya yang bersahaja, yang ditenun dibawah pokok nangka selepas ibadat, di pinggir-pinggir jalan bersama tukang ojek, dari riuh rendah ibu-ibu yang mengeluh air maupun kesulitan anak-anak saat sekolah.

Dalam komentar saya, saat diberi kesempatan berbicara oleh Pastor Paroki MBPA, RD. Emanuel Vengi Nivak, saya hanya berujar bahwa kita bersukacita tetapi jangan lupa terus berdoa untuk legislator kita. Sebab Ia diutus Gereja menjadi misionaris politik. Ia bagai domba yang diutus ke tengah serigala. Pak Jamson Silaban dan Ibu Yusniar Br. Lumantoruan, Pak Jefri dan Romo Dr. Soerya Respationo serta keluarga besar PDIP Kota Batam, proficiat.

Poya Hobamatan

Komentar

Postingan populer dari blog ini