USKUP
BUDI YANG BERBUDI
Entah mengapa, air mata menetes
spontan di senja 10 Agustus 2024 silam, ketika menyimak seluruh rangkaian acara
penyambutan Mgr. Paulus Budi Kleden. Hatiku ikut terhanyut tatkala menyaksikan ribuan
orang, tua-muda, laki-laki dan perempuan, muslim-katolik dan denominasi, pemerintah,
rakyat dan petugas keamanan, bersesak-sesakan dan berdesak-desakan di
jalan-jalan kota, hanya untuk menyambut seorang Budi Kleden, saat kakinya
menginjakkan tanah Ende.
Di atas mobil terbuka yang membawanya
untuk menyapa umat yang menantikannya, tampak Uskup Budi membalas dengan tulus
seluruh ekspresi umat yang menyambutnya itu, melalui tangan terbuka yang
diangkat tinggi ke atas maupun tangan terkatup, sebagai pancaran penyerahan dirinya dengan seluruh hati dan budi, jiwa dan raga untuk
melayani umat yang begitu rindu menantikan sang Gembala.
Bagi para alumni Seminari San
Dominggo-Hokeng, nama Uskup Budi tak lagi asing, bukan karena namanya tercatat
di batu prasasti Sesado, melainkan karena
namanya tercatat di hati setiap alumnus, sehingga terus menggema dari generasi
ke generasi. Ia tercatat di prasasti hati, bukan hanya karena kecermalangan
budinya, melainkan karena kecemerlangan budi membentuknya menjadi seminaris
yang berbudi; seminaris ideal yang diharapkan Gereja. Sebab ia tidak hanya
pintar dan cerdas secara intelektual, tetapi juga emosional dan spiritual.
Kecerdasan trinitaris ini mewarnai attitude
personal hidupnya di lembaga formasi Sesado, baik dalam hubungan dengan
Tuhan, sesama, dan diri sendiri, yang
tampak dalam penghayatan religiositasnya, , dalam hubungan relasionalnya dengan
siapa saja, dalam leadership maupun dalam pelayanannya.
Suatu hari, Pater William Pop, formator
sekaligus guru Bahasa Inggris Seminari San Dominggo Hokeng, mengungkapkan kemarahannya, tatkala melihat
para seminaris ribut di kelas. Secara spontan ia berujar: “ Orang Indonesia memang bodoh. Hanya dua orang saja yang pintar:
Soekarno dan Budi Kleden”. Almahrum Mgr. Hilarius Moa Nurak, SVD, prefek
yang sangat menyanyangi Budi, juga pernah mengungkapkan kekagumannya, ketika Budi
menjadi narasumber dalam hari studi para uskup, di masa awal kepulangannnya ke
Indonesia untuk memperkuat formasi para calon imam di Nusa Bunga. Dalam moment
itu, kata Mgr. Hila, Budi memberi masukan kepada para Bapa Gereja Indonesia
tentang kondisi dunia dan bagaimana menyikapinya.
“ Kalau dulu berlaku adigium, si vis pacem para bellum (kalau ingin
damai bersiaplah perang); adigium itu tidak lagi berlaku di zaman modern ini.
Zaman ini berlaku adigium,” si vis pacem
para economicam (kalau ingin damai siapkan ekonomi yang memadai); demikian
Budi meyakinkan para uskup.
Ceramah Budi memukau para Uskup,
sehingga ada rekan uskup yang nyeletuk di sela sidang:” Hila, engkau tidak malu
dengan anak muridmu yang sangat cerdas itu?” Mgr. Hila hanya menjawab pendek
kepada para rekan sejawat itu:” Sebagai pendidik, murid yang melampui guru
adalah kebanggaan, bukan ancaman”. Namun input
bernas dari Budi itu sangat disyukuri oleh Mgr. Hila, karena Pangkalpinang
kala itu lagi gencar menganimasi Credit Union untuk menjadi lembaga ekonomi
umat demi solidaritas antar sesama kaum papa. Sebab, kata Mgr. Hila, hanya
sesama kaum papa yang bisa saling menolong satu dengan yang lain. Sulit untuk
mengandalkan kaum berpunya untuk menolong dengan tulus hati dalam jangka waktu
yang panjang.
Dalam kisah-kisah selanjutnya baru
saya tahu ada ikatan bathin antara Mgr. Hila dengan Mgr Budi, bukan hanya
karena kecerdasan, melainkan karena kepribadian yang mirip: visioner, ingatan
kuat terhadap orang-orang yang dijumpai, kesederhanaan, kerendahan hati, juga kepribadian
yang tak ingin menjadi pusat perhatian, yang tak pernah meremehkan orang,
selain selalu menghargai sekecil apapun prestasi yang diraih. Tidak heran,
ketika perayaan panca windu Mgr. Hila, Budi datang ke Pangkalpinang sekaligus menulis di Berkat News bahwa Mgr Hila adalah
Guru, Bapa dan Sahabat. Kehadirannya di lembah Hokeng sangat mempengaruhi hidupnya.
Membaktikan totalitas diri untuk
Gereja Lokal, sebagaimana gurunya Mgr. Hila untuk Keuskupan Pangkalpinang,
tampak ketika Mgr. Budi memberikan renungan singkat sebagai closing statement dalam ibadat
penyambutan 10 Agustus silam. Kepada umat Keuskupan Agung Ende, Budi hanya
menyampaikan bahwa ia datang dengan hati dan badannya; ungkapan pembaktian diri
yang total; bukan setengah-setengah.
Sebagai teolog yang mencetuskan
Teologi Terlibat, hati dan badan Budi akan dilibatkan seutuhnya untuk aneka persoalan
yang melilit dan membelenggu perziarahan Gereja Keuskupan Agung Ende. Saya berani
bertaruh bahwa motto episcopat Uskup Budi:”Caritas
Fraternitas Maneat in Vobis (Peliharalah Kasih Persaudaraan), bukan muncul
spontan ketika ditunjuk menjadi Uskup Agung Ende, oleh Paus Fransiskus, bulan
Mei silam; melainkan bertolak dari refleksi kritis atas situasi eccelesiologis
yang sedang marak bermunculan dalam aneka wajah di zaman now.
Dalam prolog buku yang berjudul “Paroki
Gereja Yang Hidup”, tulisan sahabat saya RD. Dr. Bernardus Somi Balun, Budi
mengatakan bahwa di tengah situasi eksternal yang menimbulkan masalah pelik, situasi
internal Gereja pun tidak baik-baik saja. Tendesi privatisasi dan kultus-senterisme
agama; tendensi formalisme dan legalisme; tendensi birokratisasi agama; telah ikut
merusak wajah Gereja yang adalah komunio, untuk memancarkan kasih dan persaudaraan, dialog dan solidaritas lintas batas. Kerusakan
internal ini membuat Gereja tak memainkan fungsi kenabiannya di tengah situasi
dunia yang sesungguhnya sangat membutuhkan. Dan oleh karena itu, rasanya :”Caritas Fraternitas Maneat in Vobis, yang
menjadi motto kegembalaan Uskup Budi, rasanya bukan untuk menjadikan Gereja
bagai museum yang menyimpan mummi; bukan juga sekedar mempertahankan yang baik
seraya menggantikan yang rusak; tetapi untuk kembali ke modus vivendi Gereja
yang asali; ke identitas Gereja sejati sebagaimana diamanatkan oleh Kristus Pendirinya.
Saya akhirnya menduga jangan-jangan
kemarahan Pater William Pop dulu adalah sebuah ramalan yang terjadi hari ini. Sebab
hari ini, Budi yang pintar ditahbiskan di Kota Ende, kota di mana Soekarno yang
pintar itu merumuskan wajah Indonesia yang baru, setelah lama diporakporandakan
oleh mereka yang senang menjajah dan menindas, yang senang memecah belah untuk
enteng memerintah.
Mgr.
Budi proficiat atas tahbisan hari ini. Engkau tetaplah Budi yang berbudi. Seperti
Maria Ratu, hati dan badanmu didekasihkan total untuk Tubuh Kristus di
Keuskupan Agung Ende. Kristus yang mewartakan dan Kristus yang diwartakan;
Kristus yang adalah manusia dan Allah dengan keterlibatan total atas seluruh
situasi hidup dan perjuangan para peziarah ditumpukan di pundakmu, saat engkau
datang di Ende. Biarlah Kristus itu yang dialami dalam setiap langkahmu, sebagai
Gembala, Bapa, Nabi dan Imam, dalam memelihara kasih dan persaudaraan, yang
merupakan warisan dan pesan mulai dari keluarga, Lembaga Adat, Lembaga Pendidikan,
dan Lembaga Agama. Tinggallah dengan hati yang tenang dan laksanakan pelayanan
dengan gembira, sebagaimana pesan bapak Ismail di Ndona, saat kedatanganmu di
Ende. Bunda Reinha mendoakan dan melindungimu.
Poya Hobamatan. Imam Diosesan Pangkalpinang
Komentar
Posting Komentar