RINDU KAMPUNG
(Catatan
Perjalanan I)
Baru seminggu kutinggalkan namun rindu
kampungku segera bersemi. Entah kenapa rasa rindu untuk kampungku Hobamatan begitu
merasuk masuk di kedalaman sanubariku, hari-hari ini. “Rindu untuk segera
kembali ke sana” begitu menggelorakan jiwa, namun apa daya.
Kata orang “bae tidak bae, kampung
halaman lebe bae”, ternyata bukan sekedar isapan jempol. Demikian pula kata
Orang Melayu:” kalau sudah minum air melayu, pasti lupa kampung halaman”, juga
ternyata tak terbukti. Justru yang terbukti adalah:” di mana ditanam ketuban,
rindu ke sana selalu membahana.”
Begitulah! Pesta Perak Imamat RD.
Andre Lemoro dan RP. Benny Leu, SVD ternyata bukan hanya membawa sukacita bagi
mereka berdua, melainkan juga mendatangkan kebahagiaan bagiku, karena dengan
kehadiran saya di moment kebahagiaan dua jubilaris ini, saya juga boleh berada
di kampung, sejak 3-18 Juli 2024. Dengan
mengikuti pesta perak RD. Andre, saya boleh menjumpai semua keluarga di
Nusadani-Solor, yang sudah sangat lama tak saya jumpa. Mengelilingi Pulau Solor
serta menyaksikan semburan asap Ile Lewotobi dari Pantai Sunge Rita Ebang, memang
mengudang kagum yang luar biasa. Demikian pula menjumpai beragam teman tempo
doeloe saat mengikuti pesta perak imamat RP. Benny, SVD juga menjadi pelipur
rindu yang telah saban terpendam.
Namun lebih dari itu, libur tahun ini
membuka wawasan tentang kampong-tempat lahirku itu. Ternyata kampungku memiliki
jejak historis yang menakjubkan, penuh dengan perjanjian-perjanjian magis ala
Israel. Nama-nama tempat yang sejak kecil kudengar ternyata memiliki rekam
sejarah yang menjadi dasar kepemilikan tanah. Jejak historis dan
perjanjian-perjanjian mags itu juga yang membentuk nama kampungku, sehingga
menjadi Mahal, akronim dari Matan Lama Mangan dan Hapu Lama Boleng,
sekaligus membentuk struktur
kepemimpinan kepala kampung dan tamukung, sebelum terbentuknya hirarki
kepemimpinan desa sebagaimana yang dikenal saat ini.
Setiap malam, selama seminggu, ditemani
tuak kelapa untuk menghalau cuaca nan dingin angin bulan juli, kisah-kisah itu ditutur
satu per satu. Seperti itu tradisi tutur
yang diwariskan turun temurun tempo dulu agar jejak sejarah tidak lekang oleh
arus zaman; juga tak mudah ditipu atau dibelokkan oleh mereka yang mungkin
pandai menulis untuk sebuah kepentingan tersembunyi.
Nama-nama tempat, tradisi serta
struktur-struktur yang kukenal dan kudengar sejak kecil namun baru terdekteksi jejak historisnya itu, membuat gelora rinduku
terus menerpa ubun-ubun. Aku rindu untuk menulis; menulis segala sesuatu
tentang kampungku agar ada catatan tertulis yang mungkin bisa menjadi bacaan
bagi generasi mileneal. Kerinduan menulis itu semakin menembus jantung rinduku
untuk pulang. Aku ingin menjadikan kampungku Mahal menjadi perpustakaan, tempat
aku duduk dan menulis, tempat aku membuat penelitian lapangan, tempat aku
mewawancarai beragam narasumber untuk mendapatkan kebenaran informasi.
Sumber-sumber informasi itu, yang kemudian kubedah dengan pisau hermeneutic
untuk mendapatkan sebuah autentisitas yang lebih mendekati kebenaran, agar anak
cucu kelak memperoleh sumber informasi sejarah yang mungkin lebih
dipertanggungjawabkan.
Komentar
Posting Komentar