BERLAYAR DENGAN ARAH
“Hidup itu ibarat berlayar. Engkau
bisa manfaatkan berbagai angin yang berhembus ke berbagai arah. Namun bila engkau
sendiri tak tahu ke mana tujuan, dan sekedar mengikuti arah angin, maka anda
sedang berada dalam bahaya”.
Begitulah Robert Brault - seorang
penulis Amerika - memberikan catatan tentang bagaimana memaknai hidup; sebuah
catatan yang patut direkam oleh siapa saja, sebab bila hidup ini tidak dikemudi
menuju tujuan yang mau digapai, sehingga sekedar mengikuti ke mana angina berhembus, maka hanya
ada beberapa akibat yang mungkin dialami. Anda akan terus terombang ambing di
atas gelombang dan tenggelam. Atau anda akan tersesat dan berada di pantai yang
tidak anda harapkan. Sebaliknya orang yang memiliki arah yang akan ia tuju, ia
akan terus menatap tujuan, ke sanalah ia mengemudi bahteranya, kendati aneka gelombang
harus ia hadapi.
Rasanya Ayub, Paulus dan Ibu Mertua Petrus
adalah sosok-sosok manusia yang memiliki arah ke mana biduk kehidupan itu akan
dilabuh. Kitab Ayub melukiskan dengan sangat indah sharing Ayub yang menajubkan;
sharing tentang penderitaan yang ia alami dalam hari-hari hidupnya. Ada rasa
sakit, ada kegelisahan berhari-hari; ada rasa putus asa yang menggelorakan
jiwa. Namun kata Ayub, walau hidup terasa susah, walau penderitaan panjang
lebih dirasakan dalam ziarah, sehingga terkadang hidup ini terasa sia-sia, Tuhan
tetap menjadi sandaran hidup yang tak bisa ia ditinggalkan, karena dalam Tuhan,
hidup itu diperoleh; kepada Tuhan pula, hidup itu dituju. Meninggalkan Tuhan,
bagi Ayub, berarti meninggalkan rahmat, yang justru hanya akan mendatangkan
maut, karena hidup hanyalah sebuah hembusan nafas.
Pengalaman akan penderitaan juga
dialami oleh para murid tat kala menghadapi sakit yang diderita oleh ibu mertua
Petrus. Ada kegalauan, muncul kecemasan, ada ketakutan. Namun dalam kondisi itu
para murid tidak kehilangan arah. Mereka tahu kepada siapa mereka harus pergi;
dengan siapa mereka harus bersandar. Kepastian arah hidup ini membuat mereka
datang kepada Yesus, sebab bagi bagi mereka,
datang kepada Yesus berarti datang kepada hidup. Kepada Yesus itulah
mereka menyerukan kecemasan, meluapkan kegalauan hati. Sebab mereka tahu dan
sadar bahwa bila Yesus tidak turut dilibatkan, bila Yesus tidak disertai dalam
perjalanan; bila tangan-Nya tidak menjamah; ibu mertua Petrus tetap berada
dalam derita; dan mereka pun tetap terombang ambing bagai bahtera di angin utara.
Dan benar. Perjalan bersama Yesus, uluran
tangan Yesus membebaskan manusia dari
situasi gundah: dari kecemasan dan derita, kepada pemulihan dan kedamaian. Tidak
heran dalam Yesus arah hidup diubah. Ibu itu tidak lagi hanya memikirkan
dirinya sendiri. Rahmat yang ia terima dari Tuhan menggairahkannya untuk
bangkit dan terlibat melayani Tuhan dan sesamanya.
Permenungan atas hidup juga disharingkan
Paulus dalam bacaan II. Pengalaman dipanggil oleh Yesus di Damsyik adalah titik
tumpu kekuatan Paulus dalam mengemudi kehidupanyya. Ia yang sebelumnya merasa
sebagai manusia yang kuat dan perkasa sehingga mengelola hidup hanya sesuai dengan
selera; membunuh para penguikut Kristus secara membabi buta, akhirnya sadar
ketika Tuhan menyatakan diri-Nya. Pernyataan diri Tuhan membentuk Paulus secara
baru, mengubah kesadaran dan imannya bahwa hidup dan keselamatan manusia, bukan
terletak pada kekuatan manusia, melainkan
pada luapan cinta Tuhan. Pengalaman cinta dari Tuhan ini begitu kokoh
dalam dirinya, sehingga di tengah penderitaan hidup yang ia alami, dalam
penyiksaan dan rasa sakit yang ia rasakan, ia tetap melayani Tuhan; gtetap
memberi diri dipakai oleh Yesus: celakalah aku bila aku tidak mewartakan injil.
Pengalaman akan rahmat dan cinta dari
Tuhan membuatnya mengubah arah hidup. Bagi
Paulus, penderitaan dan kesusahan bukan alasan untuk menjauh dari Tuhan dan
memilih untuk fokus pada diri sendiri.
Penderitaan dan kesusahan justru harus membuat seseorang semakin menyatukan
diri dengan Allah, terlibat dalam karya-Nya, walau tanpa upah sekalipun, karena
manusia seperti manusia sekarang bermula dari cinta yang berasal dari Allah.
***
Hidup hanyalah sebuah hembusan nafas,
karena Allah adalah pemiliknya. Oleh karena itu, kata Ayub, persembahan diri kepada-Nya
tidak boleh dilihat sebagai beban, dan tidak boleh dijalani karena terpaksa.
Allah telah memberikannya secara cuma-cuma, dan oleh karena itu manusia harus
menimba kehidupan itu dengan penuh syukur.
Bukan kita yang pertama yang mencintai
Tuhan, melainkan Tuhanlah asal dan titik pangkal cinta, sehingga membuat saya
dan anda ada dan diselamatkan di saat kita masih berdosa. Allah menyatakan
semuanya itu secara cuma-cuma. Dan oleh karena itu bangkit dan melayani Tuhan
seperti ibu Mertua Petrus; membangun prinsip hidup celakalah aku bila tidak
mewartakan injil, seperti Paulus, harus merupakan arah kehidupan yang patut
diukir dalam hati orang-orang yang diselamatkan Tuhan.
Mungkin saja dalam persembahan diri dan
pelayanan, banyak pengalaman pahit yang dirasakan dan dialami, yang membuat
gundah dan mungkin juga sakit, sebagaimana Ayub, Paulus dan Mertua Petrus,
tetapi pengalaman-pengalaman itu justru harus semakin menyadarkan kita bahwa
hidup kita sedang dikemudi ke arah yang pasti; arah keselamatan.
Sabda Allah hari ini sangat menantang:
menantang karena manusia modern sering datang kepada Tuhan di saat sakit, namun
setelah sembuh tak memberi diri melayani Tuhan, karena tak memiliki iman
seperti ibu mertua Petrus. Akibatnya tak lagi memiliki rasa syukur dalam dirinya
atas apa yang ia terima dari waktu ke waktu.
Sabda Allah ini menantang; menantang
karena manusia modern, cenderung
melupakan Tuhan dan meninggalkan Allah sang sumber hidup, di saat susah dan
derita, karena tak memiliki iman seperti Ayub. Akibatnya tenggelam dalam
kesibukan duniawi, seakan barang-barang fana ini adalah penjamin keabadian
hidup.
Sabda Allah ini menantang; menantang
karena manusia modern sering tak tahu lagi bersyukur atas rahmat kehidupan, karena
tak memiliki iman seperti Paulus. Akibatnya untuk melayani Allah pun menuntut
harus mendapatkan upah.
Sabda Allah ini menantang karena
manusia modern sering dihantui oleh kecemasandan kegalauan, sehingga kerja,
kerja dan kerja adalah prinsip kokoh yang tak boleh diubah, bahkan oleh Tuhan
sekalipun. Akibatnya memberi waktu untuk sejenak bersama Tuhan sang pemberi
hidup dalam kesunyian doa, meneladani Yesus, dianggap sia-sia dan membuang-buang
waktu.
Untuk sementara, mengikuti
selera-selera seperti itu mungkin baik, bagai bahtera yang sekedar mengikuti
arah angin. Tapi jangan lupa anda sedang dalam bahaya.
Komentar
Posting Komentar