TELADAN SI
KUSTA
(Mrk. 1:
40-45)
30-an tahun silam, ketika masih di
Seminari Menengah San Dominggo Hokeng, ada sebuah acara rutin tahunan yang
selalu kami lakukan setiap kali menikmati liburan. Acara itu adalah mementaskan
drama. Salah satu tempat yang selalu menjadi langganan untuk pementasan drama itu
ialah Rumah Sakit Lepra-Lewoleba-Lembata. Di rumah sakit ini berhimpun semua
penderita kusta. Maklum kala itu, para penderita kusta adalah kaum terbuang
yang harus diisolasi, tak boleh berada dan berbaur dengan khalayak. Mereka sungguh-sungguh
kaum yang terkucil. Di rumah sakit inilah mereka di tampung.
Pada pementasan pertama, ketika berada
di tengah mereka, saya sempat mengalami shock,
saat harus makan bersama mereka di ruangan yang sama, walau meja dan makanan
kami terpisah. Syukurlah setelah itu, bidan Gisella, asal Jerman, mengatakan
kepada kami agar tidak cemas karena ruang makan dan para pasien steril.
“Sudah saatnya kita menunjukkan kepada
masyarakat bahwa kusta bukan penyakit yang menakutkan”. Begitulah ia meyakinkan
kami dan berharap agar kami ikut serta dalam proses sosialisasi kusta ke tengah
khalayak.
Memang tidak mudah untuk menerima
orang kusta kala itu. Menyaksikan wajah penuh bopeng, jari tangan dan jari kaki
yang puntung, serta kondisi tubuh yang penuh
dengan balutan, membuat saya akhirnya memahami mengapa pada zaman Yesus, orang kusta dianggap sebagai
orang mati yang masih bernafas. Sebab oleh penyakitnya, mereka melakukan
pemutusan hubungan dengan keluarga dalam sebuah ritual lalu dibuang ke hutan
yang jauh dan tak boleh lagi masuk ke kampung.
Kalau si kusta menjadi inspirator hari
ini, karena saat merenungkan kisah injil, saya terkesima dengan keberaniannya,
serentak bertanya dalam hati:” Siapakah Yesus sehingga orang yang terkucil oleh
khalayak justru dibiarkan untuk menjumpai-Nya? Dan siapakah si kusta itu
sehingga Yesus tak segan-segan menerimanya?” Entahlah!
Yang jelas bila membaca kisah ini
tampak bahwa si kusta datang kepada Yesus dengan kondisi yang apa adanya,
dengan wajah bopeng dan jari jemari puntung, penuh balutan di sekujur tubuh. Ia
datang dalam kebusukan dengan wajah putus asa sebagai orang yang ditolak dan
dihakimi sebagai insan terkutuk. Walau demikian,
ia datang dengan kerendahan hati, sehingga saat berjumpa ia langsung berlutut
karena ia tahu dengan siapa ia jumpa. Dan dalam kerendahan hati itu, ia
menyatakan imannya:” jika Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku”. Iman berarti
menyerahkan diri seutuhnya kepada Yesus, karena ia tahu Yesus menerimanya apa
adanya.
Saya merasa bahwa sosok si kusta yang tampil
apa adanya di hadapan Yesus, dengan segala kebusukan dan kebopengannya, namun penuh
iman dan kerendahan hati itu yang menggerakkan hati belas kasih Yesus sehingga
spontan tangan-Nya terulur untuk menyembuhkan. Inilah keteladanan si terkucil
yang mungkin tak kita jumpai pada insan yang lain.
Ia memberi contoh beriman yang
menakjubkan bahwa jangan datang kepada Yesus di saat anda merassa sudah sehat, bersih
dan wangi, karena tidak akan mungkin. Kita semua kusta di hadapan Tuhan. Ia memberi
pesan bahwa sesusah-susahnya hidup, datang kepada Yesus dan berlutut menyembah-Nya
adalah keutamaan, sebab Yesus adalah Tuhan. Dia sumber harapan dalam setiap
peristiwa hidup. Ia memberikan kesaksian iman yang menakjubkan bahwa semendesak
apapun kebutuhan pribadi seseorang, jangan memaksa Tuhan, sebab Tuhan mempunyai
rencana untuk setiap umat-Nya. Di hadapan Tuhan hanya satu permohonan: Jika
Engkau mau….jadilah kehendak-Mu..
Komentar
Posting Komentar