MINGGU III B (TANJUNG UBAN24)

Fabrizio De Andre pernah menulis sebuah lagu hits di era 1970. Lagu berjudul Penjala Manusia itu melukiskan tentang kisah petualangan seseorang yang meninggalkan jala yang menghidupkannya untuk bersama Yesus mencari lautan yang lain. Dalam sepenggal syair, Fabrizio menulis sebagai berikut:

“Tuhan Kau pandang dalam mataku.

Dengan senyum Kau sebut namaku.

Di pantai telah kutinggalkan jalaku.

Bersama-Mu aku mencari lautan lain”.

Lagu ini menggambarkan secara jelas bahwa panggilan mengikuti Yesus bukan sebuah usaha manusia. Panggilan adalah sebuah sapaan cinta dari Tuhan, yang keluar dari keputusan pribadi Allah terhadap orang-orang yang Ia pilih untuk mengikuti Dia dan untuk terlibat dalam karya-Nya. Panorama ini yang terlihat dalam kisah di Danau Galilea, sebagaimana disajikan Markus hari ini.

Markus menggambarkan bahwa panggilan para murid awal di danau Galilea bukan inisiatif mereka. Justru keagungan cinta yang membuat Yesus sendiri menyusuri pantai, datang mendekat, tanpa memandang siapa. Keagungan cinta membuat Yesus memanggil tanpa melihat status apa  yang disandang. Yesus sendiri datang dan meminta untuk mengikuti Dia menebarkan jala di lautan lain, yakni lautan kehidupan manusia.

Inisiatif Allah yang memanggil karena keagungan cinta-Nya juga terlihat jelas dalam proses panggilan para murid.  Ternyata panggilan itu bukan terjadi di Bait Allah seperti Samuel, melainkan ketika keempat murid sedang sibuk bekerja mengais nasib di medan karya. Di tengah kesibukan itulah, Yesus datang menyapa mereka dalam cinta:” Mari ikutlah Aku”.

Lebih dari itu, keempat murid awal yang dipanggil: Simon dan Andreas, Yakobus dan Yohanes, bukanlah orang-orang ahli dalam bidang telogi dan kitab suci.  Mereka hanyalah orang-orang sederhana-penangkap ikan di sebuah danau. Di danau - medan karya - tempat mereka mengais nasib, Yesus datang mendekat, menyapa mereka dalam cinta: Mari, ikutlah Aku. Dan kamu akan Ku jadikan penjala manusia.

***

Bentangan kisah yang disajikan Markus ini memicu pertanyaan:” Begitu bodohkah Yesus, sehingga Ia memanggil orang-orang sederhana yang cuma berpredikat nelayan?” Tidak! Yesus tahu siapa yang Ia panggil; Yesus tahu siapa yang ingin Ia utus.

·               Ia memanggil mereka yang ahli menjala karena Ia tahu mereka pandai menghimpun ikan yang tercerai berai di lautan luas supaya bisa disatukan sebagai satu kawanan dalam satu perahu.

·               Ia memanggil mereka yang berprofesi nelayan, karena Ia tahu mereka biasa tahan banting di segala situasi, berani dan sanggup menghadapi arus dan gelombang, bertahan di tengah badai dan angin sakal, tidak kenal lelah dalam berkarya, tidak mudah lari dari setiap persoalan yang dihadapi.

·               Ia memanggil mereka yang di danau, karena Ia tahu, walau kerasnya kehidupan yang mereka alami, tetapi mereka memiliki hati terbuka dan lapang untuk berani  meninggalkan kesibukan pribadi demi terlibat dalam karya perutusan bersama Dia.

Dan memang benar.  Sapaan cinta Tuhan telah membawa perubahan hidup pada keemapt nelayan Galilea itu. Keterbukaan hati atas sapaan cinta Tuhan telah membuat mereka menyadari bahwa hidup harus dijalani bersama Tuhan, dalam Tuhan, dan untuk Tuhan. Tuhanlah sumber dan tujuan kehidupan manusia yang berziarah di dunia; bukan dunia, sebab dunia akan berlalu.

Kesadaran akan siapa Tuhan dan siapa dirinya di dunia, membuat keempat nelayan ini berani meninggalkan kesibukan karya, kepentingan diri dan keluarga untuk ikut terlibat dalam misi Kristus. Kesadaran akan siapa Tuhan dan siapa dirinya di dunia, membuat mereka berani meninggalkan danau sempit yang penuh ikan,  untuk terjun  ke dalam lautan lain yang sangat luas, yakni lautan kehidupan  manusia, yang penuh dengan aneka persoalan, seperti yang dilakoni Yunus. Kesadaran akan siapa Tuhan dan siapa dirinya di dunia, juga  yang membuat mereka berani  memberi diri untuk memperbaharui  profesi, dari penjala ikan demi kepentingan diri dan keluarga menjadi penjala manusia, demi kepentingan Allah.

***

Merenungkan makna panggilan keempat nelayan di danau Galilea mengantar siapa saja kepada sebuah gugatan untuk merefleksikan mutu panggilan kristianinya.  Dan merenungkan mutu panggilan kristiani, kita akhirnya dihadapkan pada dua kekeliruan, yang justru dilestarikan sebagai budaya kehidupan.

Kekeliruan Pertama adalah cara pandang yang tidak melihat jati diri katolik sebagai sebuah panggilan. Padahal ketika menyerahkan diri kepada Yesus untuk menjadi katolik, kita sejatinya memberi diri untuk mengikuti Dia di jalan yang Ia tempuh. Dan oleh karena itu, menjadi katolik berarti dipanggil oleh Yesus untuk mengikuti Dia dan diutus menjadi penjala manusia, di tengah kesibukan karya yang sedang kita geluti. Kekeliruan kedua adalah cara paham seakan panggilan mengikuti Yesus itu urusannya imam dan suster. Di luar itu tugasnya hanya sibuk membereskan jala sendiri. Misa ke gereja; doa di KBG, aksi nyata injil dipandang bukan panggilan mengikuti Yesus. Akibatnya Gereja Katolik hanya dilihat sebagai gereja statistic, banyak umat dalam angka dan data, tetapi tidak banyak orang yang mengikuti Yesus, karena tak memiliki spirit nelayan dalam hidup beriman.

Inilah tantangan kita dalam membangun Gereja Partisipatif Sinodal. Sebab kebutuhan vital sebuah  paroki yang memancarkan identitas  Gereja Partisipatif-Sonodal, adalah  keterbukaan telinga semua umat untuk menanggapi cinta Tuhan: mari ikutlah Aku; dibutuhkan keterbukaan hati untuk berani meninggalkan jala seperti Petrus dan Andreas, Yakobus dan Yohanes.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini