KISAH SI TUKANG TIDUR

(1 Sam. 3: 1-10. 19-20; Mrk. 1: 29-39)

Entah mengapa, bayangan wajah Samuel, anak Anton dan Ery di Sungai Kecil, melintas di benakku saat beranjangsana ke Silo, dalam permenungan pagi ini. Saya tidak tahu apakah untuk mendapatkan Samuel ini, dulu Ery setiap hari datang ke kapel Santa Perawan Maria, seperti Hana kemarin, sehingga anak laki-lakinya juga diberi nama Samuel? Yang jelas anak laki-lakinya yang bernama Samuel itu kini berada di Seminari Mario John Boen Pangkalpinang-Bangka.

Saya teringat 1 Juli, 2018, pada pesta Darah Tersuci Tuhan, saya mendiami Kapel Santa Perawan Maria Sungai Kecil-Bintan untuk mempersiapkan wilayah Bintan Utara menjadi Paroki Mandiri, terlepas dari Paroki induk Hati Santa Perawan Maria Tanjung Pinang. Kapel Santa Perawan Maria menjadi home base, karena pastoran Tanjung Uban sedang direnovasi kala itu. Dari kapel Santa Perawan Maria inilah muncul inspirasi bagaimana mempersiapkan Paroki Bintan Utara dan bagaimana mengolah hidup   di tengah ancaman covid.

Dengan menghuni sebuah kamar kecil di kapel Santa Perawan Maria, maka sejak Pesta Darah Tersuci Tuhan itu, Sungai Kecil menjadi tempat perayaan misa harian. Selain untuk menghidupi diriku yang adalah imam, misa harian juga dimaksud untuk menyatukan dan mendoakan umat yang sedang disiapkan menjadi paroki, ke dalam inti kehidupan paroki itu sendiri, yakni Ekaristi. Sebab Paroki adalah Komunitas Ekaristi.

Salah satu anak yang tak pernah alpa untuk misa harian adalah Samuel ini. Walau ia aktif menjadi pembunyi gong penanda misteri konsekrasi, namun ia lebih banyak mengisi waktunya untuk tidur dalam kapel, seperti Samuel di Rumah Allah Silo.

Awalnya saya berpikir karena ia tak paham akan misa sehingga cepat bosan dan tertidur ketika perayaan berlangsung. Rupanya tidak. Ketika saya memutuskan untuk mulai misa pribadi berbahasa latin, yang sampai sekarang menjadi misa harian di Sungai Kecil, saat lock down covid-19; lagi-lagi ia selalu hadir bersama Louis, Agusto dan Bona. Tiga anak ini masih TK waktu itu. Walau saya sendiri cemas akan kehadiran mereka karena usia mereka dalam kondisi rentan kala itu, tetapi saya juga tak bisa menyuruh mereka pulang, karena saya berpikir jangan-jangan ini cara kerja Allah yang tak bisa saya jangkau.

Mulai saat itu mereka hadir dalam misa latin, namun tak ada dialog, karena usia mereka yang relative kecil. Saya dan Samuel juga tak pernah ada dialog sebagaimana imam Eli dan Samuel dalam Rumah Allah di Silo. Namun ketika tamat SMP dan ia memutuskan untuk ke Seminari Mario John Boen, saya misa syukur sambil bertanya pada diri saya, jangan-jangan saya adalah imam Eli untuk dia.

Sampai hari ini dia tampak lurus-lurus saja. Ketika pulang libur ke Sungai Kecil atau mau kembali, ia satu-satunya seminaris yang selalu lapor diri ke pastoran. Ia juga tak pernah alpa misa harian. Seperti itulah semestinya habitus seorang seminaris. Selain keutamaan misa, pastoran adalah rumah kedua seorang seminaris. Itulah  etika seminaris yang sudah mendarah daging di setiap hati calon imam.

Ketika ia menjadi pemain biola dalam nyanyian Malam Kudus untuk mengiring perarakan kanak-kanak Yesus di malam natal baru-baru ini, bersama kakaknya Odilia sebagai pemain keyboard dan bapanya sebagai pemain gitar, saya tertegun. Tertegun karena ia membidik not dengan baik.  Padahal lima tahun silam, suaranya sangat-sangat fals. Permainan biolanya yang fasih itu membuat dalam hati saya bergumam ”Seminari memang tempat persemaian baginya. Di sanalah ia mengasah bakat-bakatnya, dan mempertajam panggilannya”.

Sejauh saya kenal, ia memang anak yang lurus-lurus saja. Ia sepertinya tak memperbolehkan setan-setan berbicara, sebagaimana dilakukan Yesus hari ini.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini