JANGAN LUPA DIRI

Lupa Diri adalah istilah  yang paling menyakitkan sekaligus paling memuakkan. Paling menyakitkan karena istilah ini menggambarkan pribadi yang tak lagi mengingat dan mengenal asal usulnya, dari mana ia berasal, bagaimana ia meniti hidup sejak dahulu sampai sekarang, siapa saja yang sangat berjasa dan berpengaruh dalam hidupnya, bagaimana suka dan duka, untung dan malang, masa-masa kelam dan pergulatannya. Isitilah ini juga paling memuakkan karena menggambarkan seseorang yang “berlagak” sangat berkuasa ketika sudah punya jabatan, tak mau tahu dengan orang dan mengasingkan diri, tak mau mengenal sahabat ketika sudah punya harta, dll.  

Sebaliknya bagi orang yang tahu diri, apapun yang ia sandang dan apapun yang ia miliki selalu dilihat sebagai sebuah proses panjang dari banyak orang. Jabatan atau kekayaan tak akan membuat ia melupakan asal usulnya, masa lalunya, orang-orang yang berjasa atasnya, dll.

Tahu diri dan jangan lupa diri adalah simpul ziarah dalam pekan kedua Adventus. Kehadiran Yohanes Pembaptis yang menghiasi Injil dalam pekan II Adventus, mulai hari Minggu, Kamis, Jumat, dan akhir pekan hari ini seakan menyadarkan siapa saja bahwa manusia itu insan pendosa, yang karena cinta tiada bertepi dari Allah dipulihkan dan diselamatkan oleh Putra Tunggal-Nya. Kesadaran akan identitas sebagai insan pendosa yang diselamatkan penting ditanamkan dalam diri insan kristiani, karena hanya dengan kesadaran seperti itu seseorang menjadikan masa hidup, khususnya adventus, sebagai moment untuk mempersiapkan jalan raya bagi kedatangan Tuhan; moment untuk mengaku dosa dan bertobat, sebagaimana yang dilakoni orang-orang Yudea dan Yerusalem hari Minggu yang silam.

Kesadaran akan “siapa aku” itu yang diperlihatkan si lumpuh pada hari Senin. Ia lumpuh, tak sanggup berjalan sendirian. Namun karena ia mengenal diri dan mengenal Kristus, ia tidak terbelenggu oleh kelumpuhannya. Ia memberi diri ditolong oleh saudara-saudaranya, berjuang mengatasi berbagai hambatan dan rintangan demi berhadapan dengan Tuhan Yesus Kristus untuk memperoleh absolusi dari-Nya: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni”. Sakramen tobat ini membuatnya sembuh, tak lagi lumpuh, sanggup untuk berjalan memberikan kesaksian akan Kristus.

Seperti itulah seharusnya manusia kristiani. Bila ia tahu diri dan tidak lupa diri; bila ia selalu sadar dari mana asalnya, kemana ia akan pergi, bagaimana kondisi hidupnya saat ini, ia akan berjuang datang kepada Yesus-Sang Kehidupan. Sebaliknya bila ia lupa diri, maka hidupnya  bagai domba yang tersesat, yang karena sibuk merumput demi mengenyangkan perut, lupa akan jalan hidup, lupa akan arah hidup, lupa akan keamanan dan keselamatannya, dan akhirnya harus hilang begitu saja, sebagaimana diwartakan hari Selasa.

Ciri-ciri orang yang  lupa diri ini adalah mereka yang karena dosa yang terus bertumpuk telah membuat lumpuh saraf-saraf rohaninya sehingga mati rasa akan kehadiran Kristus, warta dan tindakan keselamatan-Nya, dan memilih sibuk seperti domba yang hilang itu. Mereka ini karena telah mati rasa, sehingga gaya hidupnya bagai anak-anak di pasar yang kendati ditiup seruling tidak juga menari, dinyanyikan kidung duka, tak juga menangis, sebagaimana diwartakan hari Jumat kemarin.

Sekali lagi jangan lupa diri. Kita hanyalah insan pendosa yang diselamatkan karena cinta yang tiada bertepi dari Allah. Kesadaran diri ini harus diasah dalam masa suci ini, agar dalam situasi apapun, kita senantiasa membangun keutamaan untuk senantiasa datang kepada Yesus demi memperoleh kelegaan di tengah himpitan letih lesu dan beban berat; senantiasa belajar kepada-Nya tentang bagaimana memikul kuk kehidupan dalam perziarahan di dunia, sebagaimana diwartakan hari Rabu.

Selamat berakhir pekan. Selamat memasuki pekan gaudete.

Komentar

Postingan populer dari blog ini