BERANI
MENDOBRAK
Membangun
Keutamaan Menerima Sakramen Tobat
Bila anda masuk ke Museum Nelson
Mandela, di Johannesburg-Afrika Selatan, anda akan mendengar di setiap lorong
di museum itu, suara menggelegar dari sang pahlawan aphartheid ini: ” The brave man is not he who does not feel afraid, but he
who conquers that fear”( Orang berani bukan mereka tak punya rasa takut,
tetapi mereka yang bisa mengatasi rasa takut itu).
Saya rasa gelegar suara sang nabi
Afrika ini memperlihatkan sebuah kebenaran yang sering tak terdeteksi bahwa
keberanian tak pernah imun dari ketakutan; yang penting bagaimana cara
mengatasinya. Dan Mendela yang memenangkan penindasan apharteid serta membuahkan kemerdekaan yang kini dicicpi oleh
seluruh rakyat Afrika Selatan, berawal dari kesanggupannya mengatasi ketakutan yang selalu
menghantui hati dan pikirannya.
Tampaknya perjuangan mengatasi rasa
takut itu yang dimiliki oleh si lumpuh. Lumpuh
memang membuat hidupnya sangat-sangat terbelenggu. Matanya memang terbuka namun
ia tidak bisa melihat yang ingin ia lihat. Telinganya memang mendengar namun tak
bisa langsung dari sumber pertama. Ia hanya bisa mendengar dari cerita orang
dan mencoba mengalami apa yang dilihat orang. Lumpuh juga membuat hidupnya
hanya tergantung pada orang. Bila tidak
ada yang berbelaskasih, maka kawan sejati hanyalah tilam, tikar dan bantal kusam
serta sampah dan semua kebusukan yang dihasilkan olehnya.
Lukas mengisahkan bahwa kerinduan
untuk disembuhkan oleh Tuhan memicu seluruh hasrat hati si lumpuh untuk berani
meninggalkan zona yang telah membelenggunya sejak kecil itu. Ia harus mengatasi
rasa malu yang selalu menghantuinya sebagai orang kutukan Allah. Ia harus mengatasi
rasa takut berada di tengah khalayak ramai,seakan ribuan mata akan menatapnya
sebagai orang yang beraib, karena sejak kecil habitat hidupnya hanyalah kamar
sempit tempat ia berbaring. Ia juga harus mengatasi rasa takut atas kecemasan
yang mungkin menghampirinya karena terlalu berasumsi jangan-jangan tak ada yang
mau membawanya.
Setelah rasa takut tahap pertama bisa
diatasi, rasa takut gelombang kedua telah menghadang. Kerumunan orang banyak yang
mengelilingi Yesus, melahirkan rasa takut jangan-jangan kerinduannya untuk
disembuhkan Tuhan tak terjawab. Syukurlah keberanian mengatasi rasa takut tetap
membara sehingga mengantarnya untuk membongkar atap rumah, tempat Yesus menyatakan
keselamatan-Nya. Saya mahfum, pasti si lumpuh juga dihantui rasa takut jangan-jangan
dimarahi dan diusir oleh si pemilik rumah. Namun sekali lagi keberanian yang ia
miliki memacunya untuk mengatasi rasa takut.
Keberanian mengatasi rasa takut yang
memacu si lumpuh untuk mendapatkan keselamatan dari Yesus terjawab sudah: “Dosamu
sudah diampuni. Bangunlah angkatlah tilammu dan berjalanlah”. Sementara ahli-ahli
taurat dan kaum farisi yang munafik itu tetap terbelenggu dalam kelumpuhan
dosanya karena mereka sibuk melihat dosa orang lain.
***
Kisah si lumpuh dihadirkan hari ini untuk
menjawabi pesan pertobatan dan pengakuan dosa yang diwartakan Yesaya, Yohanes
Pembaptis dan Rasul Petrus di hari kemarin. Kemarin ketiganya menyerukan warta
padang gurun bahwa sikap menyambut kedatangan Tuhan adalah bertobat dan mengaku
dosa. Tobat dan pengakuan dosa adalah bagai membuka jalan raya bagi Tuhan; jalan
untuk memulihkan manusia yang menantikan Tuhan agar senantiasa berada dalam keadaan tak bercacat dan tak bernoda.
Namun untuk bertobat dan mengaku dosa demi
mencicipi sabda penuh kuasa Yesus:” dosamu sudah diampuni”, butuh keberanian
mengatasi rasa takut; butuh hasrat dan kerinduan yang tinggi untuk disembuhkan
oleh Yesus; butuh keberanian untuk keluar dari zona kutukan untuk memperoleh
rahmat dari Kristus.
Ketika orang merasa nikmat dengan kebiasaan
terkutuk sehingga menganggap dosa sebagai kebiasaan yang tidak mau diubah, maka
ia bagai si lumpuh yang tak ingin berjalan tegak, si lumpuh yang tak lagi bisa
dipisahkan dengan tilam dan segala kebusukan yang membentuknya. Inilah tipikal
kaum faruisi dan ahli taurat.
Ya. Penerimaan Sakramen Tobat butuh
keberanian mendobrak kelumpuhan yang sering membelenggu hati dan pikiran
seseorang. Penerimaan sakramen tobat butuh keberanian mengatasi rasa takut.
Komentar
Posting Komentar