KASIHILAH KEBENARAN HAI PARA PENGUASA DUNIA

(Keb. 1: 1)

Luar biasa! Begitulah kata hati saat membuka hari ini, sebab kendati Kitab Kebijaksanaan sudah beberapa kali kubaca untuk berbagai kebutuhan, namun inspirasi demi inspirasi, kesadaran demi kesadaran  selalu muncul secara dinamis. Salah satu dinamika pengalaman itu adalah hari ini, sebab aku baru insaf bahwa Kitab Kebijaksanaan ternyata membuka seluruh isi tubuhnya dengan pernyataan ini:” Kasihilah kebenaran, hai para penguasa dunia”.

Tidak diketahui mengapa penulis kitab ini membuka seluruh tulisan sucinya tentang cinta kepada kebenaran yang ditujukan kepada para penguasa dunia. Namun kalimat awal ini, yang menjadi pendulum seluruh tulisan suci tentang kebijaksanaan, seakan menyentak  hati dan menggugat budi.

Pernyataan:” Kasihilah kebenaran, hai para penguasa dunia”, ini menyentak karena ia muncul bersamaan dengan situasi bangsa yang sedang dirundung oleh siasat licik penuh penipuan yang didalangi oleh penguasa. Pernyataan politisi PPP, Ir. Romahurmuziy, beberapa bulan silam, tentang istilah “sein kiri belok kanan”, yang sekarang menjadi istilah yang viral di youtube, seakan mengamini kenyataan akan hilangnya roh kebenaran dan beranakpinaknya semangat penipuan dan kepalsuan, yang sedang menggerogoti hati nurani dan akal budi dan dipertontonkan tanpa rasa malu oleh para penguasa negeri ini.

Demikian pula, kalimat pembuka Kitab Kebijaksanaan ini, seakan menggugat budi, karena pernyataan “Kasihilah kebenaran, hai para penguasa dunia”, merupakan teguran yang sangat keras bagi siapa saja yang duduk di kursi penguasa dunia, untuk menggunakan kekuasaan dalam tolok ukur kebenaran, sebab hanya dalam takaran kebenaran, sebuah kekuasaan akan bisa dipertanggungjawabkan. Tanpa kebenaran, abuse of power akan merajalela dan tak bisa dibendung.

Harus diakui bahwa hampir 10 tahun, semua komponen bangsa: entah masyarakat biasa, para cendekia, rohaniwan, budayawan, dan semua anak negeri pencinta kesejahteraan dan demokrasi dibuat decak kagum karena  penguasa tampil di public layaknya gadis belia yang wajahnya “glowing”: polos, halus, cantik, rendah hati, jujur, demokratis dan berpihak pada masyarakat. Namun cerita sang Sekjen Mas Hasto Kristianto dalam podcast bersama Akbar Faisal,  atau juga sharing Ketua DPC Solo, F.X. Rudy, yang juga adalah mantan Wali Kota Solo, karena hengkangnya keluarga penguasa secara tak beretika sampai pada titik klimaks mengubah Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga, demi mengantar Gibran Rakabuming Raka ke kursi calon wakil presiden, membuka tabir gelap sekaligus mempertontonkan wajah asli penguasa seraya menyingkapkan tali temali dosa penipuan dan kepalsuan penguasa, yang dirancang lama, kendati secara politis dibungkus rapih dan dimainkan secara cantik.

“Sein kiri, belok kanan”, yang awalnya diangkat  Gus Romy untuk memperlihatkan kepiawaian politik penguasa, justru menjelang lengser menunjukkan fakta keasliannya. Seruan akan netralitas yang justru terimplementasi dalam bentuk pencopotan baliho; janji tidak akan mengusung Gibran tapi diam-diam merenovasi Mahkamah Konsititusi menjadi Mahkamah Keluarga semakin memperjelas fakta asli penguasa yang tak lurus dan manipulative, penuh intrik dan kamuflase, sehingga antara kata dan tindakan begitu berjarak; terkesan santun saat bicara depan public namun penuh strategi busuk saat berada di belakang layar.

Tidak heran para cendekia dan kaum agamawan yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang (MPR) melihat bahwa ada dekadensi moral karena nilai-nilai etik yang seharusnya menjadi pegangan seorang penguasa telah dikangkangi demi melampiaskan  birahi kekuasaan yang tak terbendung menjelang pemilu. Nafsu kuasa yang mungkin selama ini dikekang dalam kepalsuan demi menampilkan citra diri sebagai penguasa yang baik dan santun, akhirnya dilampiaskan secara membabi buta, menabrak norma dan melanggar etika.

Kondisi-kondisi ini menyeruak ke permukaan, kata Kitab Kebijasanaan, karena pikiran bengkang-bengkong yang menjauh dari Allah, ditopang pula oleh hati yang keruh, dan tubuh yang dikuasai dosa. Citra seperti ini, kata Yesus, adalah citra yang selalu menyesatkan orang-orang lemah, yang kurang menggunakan akal budi selain didominasi emosi. Orang-orang lemah ini, karena cuma menggunakan emosi nihil daya kristis, biasanya hanya bisa berdecak kagum dengan penampilan penguasa, walau penuh kamuflase. Mereka akan sangat memuji-muji figure yang bersangkutan walau mereka sedang ditipu. Mereka ini begitu radikal dan membela mati-matian sang penguasa, walau mereka sejatinya sekedar menjadi tameng dari sebuah permainan kotor. Penguasa yang memanfaatkan kelemahan kaum lemah ini, kata Yesus, adalah lebih baik jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya lalu dilemparkan ke dalam laut.

Merasakan tangisan Hasto, tangisan Goenawan Muhamad, tangisan Prof. Ikrar Nusa Bhakti, tangisan ibu Omi Komariah Madjid, Saya hanya bisa berseru:” Kasihilah kebenaran, hai para penguasa dunia”, sebelum segala sesuatu terjadi. Sebab siapa menabur angin akan menuai badai.

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini