ANTARA AKU DAN
SESAMA
(Rabu, Pekan
XXXI: Rm. 13: 8-10; Luk. 14: 25-33)
Pemimpin Spiritual Tibet, Dalai lama
XIV pernah mengatakan kalimat inspiratif ini:” Semua tradisi agama utama pada dasarnya membawa pesan yang sama, kasih
dan pengampunan. Hal yang penting adalah hal-hal tersebut harus menjadi bagian
dari kehidupan kita sehari-hari.”
Tak terbantahkan apa yang dikatakan
oleh sang spiritual ini, sebab lahirnya agama sejatinya karena keluar dari hati
Allah yang penuh kasih. Bahkan bagi orang Kristiani, Allah itu sendiri adalah
Kasih (1 Yoh, 4); dan dari Allah pula manusia menyelami apa sejatinya kasih itu,
karena yang Ia wartakan ke tengah dunia, hanyalah kasih.
Dari pribadi Allah yang adalah kasih
itulah, manusia disadarkan bahwa kasih berarti pemberian totalitas diri
serentak penerimaan dengan totalitas diri pula. Sebagaimana Allah memberikan
totalitas diri-Nya kepada manusia dan dengan totalitas diri menerima manusia ke
dalam pelukannya; demikianlah kesejatian kasih itu. Tanpa totalitas pemberian
diri dan tanpa totalitas penerimaan ke dalam diri, kasih tak bisa menjadi
sebuah kenyataan dalam hidup. Itulah sebabnyak orang-orang kristiani
mendefinisikan kasih sebagai pemberian diri secara total (dengan seluruh hati,
seluruh jiwa, seluruh akal budi, dan seluruh tenaga) serentak penerimaan secara
total (dengan seluruh hati, seluruh budi, seluruh jiwa dan seluruh raga) sosok
di luar diriku demi kebahagiaan orang-orang di luar aku. Sebagaimana aku
mengasihi diriku dengan seluruh hati, seluruh budi, seluruh jiwa dan seluruh
raga; hal yang sama harus dilakukan kepada orang-orang di luar aku, sehingga
mereka menjadi sama dengan aku. Itulah makna terdalam dari kata “sesama”. Maka sesama baru disebut sesama bila aku
memberi dan menerima mereka seperti aku memberi dan menerima totalitas diriku.
Bila tingkat pemberian diri dan penerimaan terhadap mereka tidak sebanding
dengan totalitas pemberian dan penerimaan diriku, maka kata sesama baru
ditempatkan di level slogan dan belum
menjadi sebuah kenyataan hidup. Kamuflase seperti ini sangat membahayakan
eksistensi Gereja.
Dengan pemakanaan kasih yang merupakan
kehidupan Allah inilah, bisa terpahami ajaran Paulus hari ini. Kalau Paulus
menegaskan bahwa kesejatian kasih terhadap sesama tidak akan pernah mengantar
orang untuk berzina, mencuri, mengingini hak milik orang; tidak pernah berbuat
jahat terhadap sesama, karena kualitas pemberian diri dan penerimaan yang total
mereka yang diluar aku sudah selevel dengan diriku sendiri. Kasih itu akan
hilang dan perilaku buruk sebagaimana disinyalir Taurat akan menjadi habitus
liar, bila demi kasih akan diriku, aku mengorbankan mereka yang di luar diriku;
demi kepuasanku, aku memangsa mereka yang di luar diriku.
Demikian pula kalau Yesus hari ini
menegaskan barang siapa yang mengikuti Aku, tidak membenci bapanya, ibunya,
istrinya, anak-anaknya, saudara-saudarinya bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat
menjadi murid-Ku; karena memang mengikuti Yesus berarti mengikuti Allah yang
adalah kasih. Allah yang adalah kasih adalah Allah yang tidak egois, tidak nepotis,
tidak sukuis; Allah yang berani melepaskan diri dari segala milik-Nya demi
kebahagiaan mereka yang ada di luar diri-Nya. Allah yang telah menjadikan
manusia (makhluk di luar diri-Nya_
sebagai bagian yang tak terpisahkan, yang Ia kasihi sama dengan Ia mengasihi
diri-Nya sendiri. Allah yang memberi seluruh hati, seluruh jiwa, seluruh akal
budi dan seluruh raga untuk semua manusia, dan menerima semua manusia dengan
totalitas yang sama.
Hanya dengan memberlakukan kualitas
kasih yang dihidupi Allah itu, hubungan dengan orang-orang di luar aku terajut
tanpa disikriminasi. Dalam kualitas kasih seperti ini, orang bebas
mengekspresikan diri, karena mereka tahu dan sadar bahwa bila ada sesuatu
terjadi sehingga merusak relasi, kasih akan bermetamorfosa dalam bentuk
pengampunan, sehingga relasi tetap lestari karena dijiwai oleh kasih yang
abadi. Sebab pengampunan hanya bisa terjadi bila seseorang, apapun keadaaanya
diterima dengan seluruh hati, seluruh budi, seluruh jiwa dan seluruh raga.
Kualitas kasih dan pengampunan seperti
ini yang harus diperjuangkan menjadi kenyataan dalam hidup harian, sebab hidup
harisan adalah hidup bersama mereka yang diluar aku. Aku akhirnya bertanya untuk
diriku sendiri, apakah aku sudah mempunyai sesama?
Komentar
Posting Komentar