HATI SANG IBU
Yoh. 19: 25-27
Matamu perih. Kakimu letih. Hatimu sedih.
Jiwamu pedih. Seluruh dirimu tertuju kepada Putra-Mu.
Sejak ditolak di Betlehem dan harus
menerima kandang untuk melahirkan-Nya di Efrata, serta diancam untuk dibunuh sehingga
harus melarikan diri ke Mesir, saat Putra-Mu memasuki dunia; Bunda seakan
dipersiapkan dan mempersiapkan diri untuk menerima segala resiko yang akan
terjadi dengan kehadiran Yesus. Sukacita Nasareth tentang Sang Putra yang
engkau kandung dan engkau lahirkan, yang diberitakan oleh Gabriel-Malaikat
Agung, ternyata dianggap batu sandungan oleh manusia, sejak awal kedatangan-Nya.
Dan setelah bunda mendidiknya untuk
memasuki babak perutusan—Nya di depan umum, Ia lagi-lagi dianggap gila oleh
saudara-saudara-Nya. Orang banyak yang mengelilingi-Nya, kendati terkesima mendengar
ajaran-Nya dan takjub dengan kuat kuasa yang dimiliki-Nya, toh tetap saja ada
segelintir orang yang merencanakan siasat busuk untuk membunuh-Nya. Putramu
diwartakan sebagai Penyelamat oleh pihak langit, tetapi dianggap sebagai batu
sandungan oleh pihak bumi.
Dan ketika Ia merasa sudah tiba
waktunya untuk menyelesaikan karya Bapa, sebagai kegenapan waktu di puncak
perutusan, engkau lagi-lagi menyaksikan sendiri bagaimana Putramu diperlakukan.
Penolakan Betlehem yang telah memaksamu untuk melahirkan-Nya ke Efrata, kini
tak bisa lagi dibendung. Ia harus dibunuh. Engkau tak bisa lagi melarikan-Nya
ke Mesir. Engkau harus menyaksikan sendiri bagaimana Ia melewati seluruh penderitaan-Nya
di jalan-jalan salib. Apa yang Ia wartakan untuk menguatkanmu dan para
pengikut-Nya, bahwa Putra Manusia akan menderita, ditolak oleh tua-tua dan
dibunuh, bukan lagi sekedar pewartaan, melainkan sebuah kesaksian hidup dari
diri-Nya sendiri.
Dulu, dalam hati engkau mengatakan ini
putraku, saat memangkunya di kandang dan di atas keledai ketika mengungsi ke
Mesir; kini engkau menerima di pangkuanmu, setelah ia menyerukan suara terakhir:” Ibu, inilah Anakmu.
Bapa selesailah sudah”.
Ya! Kemarin, saat merayakan Salib Suci
Putramu, kami memang bersukacita, karena Ia menggembirakan kami dengan warta
keselamatan-Nya:” Sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian
juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya
beroleh hidup yang kekal.”
Kami memang bersukacita karena Putramu
yang tersalib adalah pemenuh sang ular tembaga untuk menyembuhkan dan menghidupkan kaum
peziarah dari luka dosa mereka. Karena rupa-rupanya Ia memilih salib yang
merupakan stigma kebodohan bagi manusia sebagai jalan kenosis-pengosongan diri-Nya
yang adalah Allah demi keselamatan kami yang tak layak untuk di selamatkan.
Namun hari ini, tiba-tiba saja hatiku
pun sedih menyaksikan keteguhan dan kekokohanmu ketika melihat dan mengiringi
semua derita yang dialami Sang Putra. Putra yang Engkau rawat dengan susah
payah, yang kepada-Nya engkau pertaruhkan seluruh hidupmu, harus engkau
saksikan dari dekat bagaimana teriakan orang atas diri-Nya: Ia harus mati, dan
biarkan Barabas hidup. Engkau harus menyaksikan bagaimana Tubuh Putramu
tercabik cemeti, kepalanya ditusuk duri namun dicap sebagai mahkota, bagaimana
erangan kesakitan saat diterpa bara matahari, dan lambung-Nya ditikam saat ditinggikan
bagai ular tembaga, di puncak bukit tengkorak.
Di pangkuanmu yang dulu Ia meletakkan
kepala sebagai awal perutusan; di pangkuanmu pula Ia meletakkan kepala sebagai
kesempurnaan perutusan-Nya ke tengah dunia. Tanpa rahimmu yang menjadi pintu
perutusan dan tanpa pangkuanmu tempat Ia
meletakkan kepala di awal dan kahir perutusan, mungkin kami tetap
sebagai peziarah yang tetap terluka dan mati oleh dosa. Terima kasih Bunda
Maria.
Komentar
Posting Komentar